Memoar Anak Desa




Masih di bawah langit yang sama. Saat awan tetap saja bergerak bebas kemana ia mau berarah. Kadang mendung, kadang cerah. Dan masih di atas tanah yang sama. Ampelgading dengan seluas 8.221,61 Ha sebuah wilayah yang berada di lereng gunung Semeru. Kabut di luar kamar ini mulai menyapa. Jalanan terasa tertutupi oleh asap pegunungan. Menghadirkan rasa dingin yang berlebihan menusuk pori-pori kulit lalu membuat indra perasa ini lema-kelamaan mengering. Dedaunan yang menghijau, pepohonan, semak-semak kebun kopi yang bunganya memutih, jalanan yang jarang dari asap kendaraan bermotor dan lorong yang menanjak naik lalu menurun, meyakinkanku bahwa desa ini adalah yang sebenar-benarnya desa. Jauh dari atm, pasar, apalagi indomaret. Getaran bumi beserta isinya dua hari yang lalu masih membuatku fobia dan ketakutan nan panik berada di lereng ini. 168 km Barat Daya Lumajang Jawa Timur berkekuatan 6,3 SR Malang gempa. Lalu kenapa aku di sini? Hanya untuk sebuah tugas mahasiswa untuk beradu pikiran dan tenaga dengan masyarakat luas.
                Masih 7 hari aku menetap di rumah Pak Slamet bersama sepuluh teman dalam timku. Laki-laki berumuran 40 tahunan sekaligus berstatus sebagai pak Takmir Masjid Baitus Salam ini menjadikan kami sebagai anak-anaknya. Rumahnya kokoh, tinggi menjulang dan terlihat berbeda dari rumah masyarakat sekitarnya sehingga kami tau bahwa dia adalah orang yang berada. Masih 7 hari untuk 30 hari pula aku belajar beradaptasi dengan tanah  dan penduduk ini, mencoba bersahabat dengannya.  Status Madura negeriku membuatku susah memahami dan berbahasa jawa dengan orang-orang yang bertatap muka denganku. Senyum adalah sebuah pilihan terakhir atas ketidakpahaman bahasa orang lain. Layaknya alien yang hanya bermodalkan bahasa nasional sebagai cadangan untuk berkomunikasi.
                “Sudah siap, mbak Wiya?”, tanya mbak Yusro padaku. Temanku yang fakultas Tarbiyah ini selalu siap lebih awal dan lebih disiplin untuk suatu kegiatan. Kacamata dan gaya bicaranya mengilustrasikan ketegasannya dan pentingnya waktu. Pagi ini kami akan mengunjungi satu sekolah SD di Desa Tawangagung. Desa sebelah yang juga tanggung jawab dan bagian kami sebagai mahasiswa KKM. Mendapatkan 2 desa mungkin juga suatu hal menggalaukan bagi kami yang hanya beranggotakan sebelas orang.
                “Hmm, belum mbak… iya sebentar lagi”, jawabku sambil membetulkan kerudung. Aku menyulam semangat pagi ini. setelah kemarin kami tidak diperkenankan untuk membantu berbagi ilmu di satu Madrasah. Dengan alasan banyak murid yang tidak bersekolah karena sakit setelah MOS yang kami pandu, bahwa kami harus dibagi ke dalam dua kelompok antara dua desa, bahwa madrasah tersebut tidak membutuhkan tambahan guru,  pertanyaan mau apa dan konstribusi apa yang akan kami berikan sebagai mahasiswa untuk anak sekolahan desa. Kembali dengan muka masam, pernyataan itu masih terngiang, sakit hati masih terbayang tapi kami belum bisa untuk membuang dan pikiranku berusaha menghilang. Bersedih lama-lama itu hanya membuat hati mengeras, tapi memendam lalu tersenyum kembali akan membuatnya lebih terasa dinikmati. Ini planning Tuhan, kataku dalam hati.
***
                Jam 08.30 WIB kami tiba di SD yang Pak Slamet alihkan untuk kegiatan kami. Sekolah dengan gedung sepanjang banyaknya kelas 1 hingga 6, lalu 1 kantor kecil yang hanya beruang tamu dengan 4 kursi dan tempat buku serta 1 komputer. Tak ada lagi. Anak- anak SD itu melihat kami. Entah mereka sudah terbiasa didatangi orang  beralmamater atau tidak. Orang yang akan menemani mereka belajar, yang akan diuji kesabarannya dalam mendidik anak pedesaan dengan caranya yang berbeda. Dan orang yang satu ini, aku. Tiba-tiba merasa panik. Takut tidak bisa menemani mereka belajar, takut mereka tidak tertarik untu belajar dan takut mereka akan merendahkanku seketika. Entah pikiran apa yang sedang menepi dalam benakku. Ruang kantor yang aku tempati seakan mempertanyakan kemampuanku saat itu. Mahasiswa bukan fakultas pendidikan akankah bisa mengajar?, mahasiswa dengan jurusan kimia akan melakukan apa di sekolah dasar pedesaan? Pertanyaan yang aku dengar beberapa hari yang lalu kembali teringat olehku.
                Setelah berbincang lama dengan kepala dan guru sekolah, disuguhi keripik ketela pohon dan air aqua gelasan, kami diperkenankan memasuki setiap kelas untuk berkenalan ataupun mengajar. Ku masuki kelas sekenanya, kelas 3. Seketika wajah-wajah polos sedang menatapku. Mereka tersenyum jika aku tersenyum, menunduk saat aku memandang dan menjawab salamku yang kuucap untuk mengawali perjumpaan. Kelas ini sepi. Beranggotakan 8 orang dengan setiap bangku berisi 1 orang. 3 lainnya izin karena sakit.
                Ku putar ingatanku pada 12 tahun silam. Ku pandangi mereka saat memoriku mulai teringat. Saat aku sekecil mereka, bagaimana kemampuanku dalam menyikapai suatu hal dan belajar di kelas. Apakah masih belum paham dengan IPA, aljabar, atau bahkan belum bisa membaca dan lain sebagainya. Ku kerangkakan apa yang ingin aku sampaikan, senyum lepas dari bibirku menghilangkan lamunanku.
                “Hari ini pelajaran apa, adek-adek?”, tanyaku setelah memperkenalkan diri.
                “Pendidikan Agama sama menggambar bu …?” jawab mereka serentak. Seketika aku lega. Pelajaran bahasa jawa bukan takdirku hari ini. Bisa-bisa aku harus keluar kelas lalu menyuruh temanku yang mahir berbahasa jawa menggantinya. Dari pada aku membaca buku bahasa jawa tapi tidak bisa berlogat dan mengartikannya. Bermodalkan ilmu yang aku peroleh dari pesantren sewaktu di pondok dulu, ku ajarkan mereka seputar rukun iman dan rukun Islam yang ku tulis di papan tulis.
                Satu anak mencuri perhatianku. Tubuhnya kurus dengan kulit coklat masam. Gerakan tangan menulisnya sedikit kaku. Dengan kepala sedikit digelengkan dia melihat ke arahku. Lalu menunduk kembali dan menatap dalam tulisannya. Ada apa dengan kondisinya.  Pada saat dia berlari-lari tangan dan kakinya lemah melunglai. Matanya tidak fokus menatap hal yang di depannya, seakan-akan dia hanya melirik. Oh, mungkin ini anak yang memiliki sedikit kelainan yang sempat diceritakan ibu guru tadi. Tuhan memang Maha cinta variasi. Bahwa setiap bentuk dan keadaan jiwa-jiwa berbeda. Kesempurnaan hanya milik kekasih-Nya dan manusia diciptakan  berbeda dengan ketidaksempurnaannya . Satu pelajaran telah aku temui.
Satu kebahagiaanpun aku dapatkan hari ini. Membagi ilmu untuk mereka yang menurut para gurunya belum tentu duduk di kelas hingga beralmamater sepertiku. Status mahasiswa yang mungkin awam bagi mereka. Hanya ada celah kecil bisa menuju SMA jika tidak, maka bekerja atau menikahlah pilihan terakhirnya. Sehingga apa yang dilakukan mereka saat ini, hanyalah belajar  di sekolah terdekat, membaca dan menulis  apa yang ada di kelas,  bermain bola dengan teman sebayanya lalu menangis karena bertengkar dengan teman sepermainan. Alur yang sederhana, bukan.
***
                Di sekolah dasar yang berbeda. Aku berhijrah dari desa ke dua. Para gurunya yang ramah dan kebahagiaan atas kedatangan kami untuk bisa membantu mengajar anak didiknya karena mereka disibukkan dengan persiapan akreditasi membuat kami lebih bersemangat. Sekolah dengan jumlah 7 guru ini memiliki ruang kantor dengan tatanan sederhana namun  cukup lebih luas dari sekolah yang kami datangi sebelumnya. Kantornya terlihat berantakan karena dirombak, rak- rak buku dibersihkan, papan visi misi dan statistik murid mulai dipajang yang hal itu semua para guru melakukannya sendiri. Tak ada pembantu atau kuli bangunan, masyarakat melekat dengan aktivitas bertaninya. Lalu bagaimana murid-muridnya. Ya, itu tugas kami.
                Aku berjalan menuju kelas 5. Beberapa murid terlihat berlari kecil saat mereka tau aku ke arah kelasnya. Mereka melihat, lalu tertawa tersipu malu dan cepat kembali ke tempat duduknya.  Teman-temanku menyebar ke kelas lainnya. Entah karakterku yang tak bisa bergaul dengan anak seumuran 3 SD atau aku yang tak bisa melucu dan bersikap seperti dunia mereka, aku lebih suka mamasuki kelas 5 maupun kelas 6. Jika nakal mereka mudah untuk aku siniskan, malas mereka mudah untuk aku suruh maju satu per satu. Menemani anak SD sekelas 3 ke bawah membutuhkan energi yang lebih besar karena mereka berentropi sedemikian kuatnya. Membutuhkan berbagai game  untuk membuat mereka senang, atau berbicara dengan logat anak kecil melelet-lelet untuk membuatnya paham.
                Mata seisi ruangan tertuju padaku. Senyum tak habis-habisnya aku pasangkan lewat bibir dengan mengenyampingkannya sepanjang 1 sentimeter. Anak di bangku depan topinya sedikit sobek, anak di baris tengah seragamnya kusut, lalu yang mengejutkanku bahwa semua anak lelaki dikelas itu jari telunjuknya bertahtakan cincin batu akik. Benda yang aku sensikan dan tidak menarik sama sekali bagiku. Benar-benar musim batu akik, pikirku.
                Pelajaran bahasa inggris aku pimpin hari ini. Panasnya matahari dan debu halaman sekolah yang mulai berentropi dengan suhu tinggi membuat tubuhku berekskresi dengan keringat. Suaraku yang katanya lembut sehingga harus berteriak untuk terdengar seisi ruangan membuat tenggorokanku tercekik. Ditambah dengan gurauan kenakalan anak-anak sambil berebut menuju papan tulis untuk mengisi vocab yang aku berikan.  Akhirnya mereka mulai berani. Melontarkan kosa kata yang mereka punya, entah itu kata benda, kata kerja sudah tak ku hiraukan lagi setelah mereka kebingungan membedakan mana yang verb dan yang noun.
                Bau keringat anak-anak ini menyengat menguap. Bermain ketika beristirahat, jajan di warung kecil samping sekolah, lalu duduk di teras. Sekali-kali satu dua orang dari mereka bergerombol ke arahku. Menanyakan kapan kita akan belajar lagi, entah setiap hari atau hanya sesekali. Sayangnya seminggu hanya tujuh hari. Ku bagikan 3 sekolah yang aku abdi hanya dua hari. Wajah mereka merenggut pertanda menginginkan kami bertemu satu minggu penuh. Sempat aku pertanyakan entah hal apa yang terjadi jika keesokannya kami tidak memasuki kelasnya di tengah kesibukan guru menyiapkan akreditasi sekolah. Bermainkah, membacakah, menuliskah, atau menunggu salah satu gurunya memasuki kelasnya atau bahkan pulang tanpa membaca satu bukupun. Jika memang harus ada guru sewaan akan aku suruh dia untuk mengajar selama 4 hari tersisa.
***
                Seperti biasa berawal dari pagi memulai cerita. Cerita tanpa krnologi yang disengaja sehingga ada alasan untuk setiap problema. Setelah semalam suntuk mengerjakan register pendataan penduduk yang harus kami selesaikan sesuai deadline volunteer, dengan jumlah 300 rumah tangga untuk dua desa. Menatap monitor lap-top lalu mencetang silangkan sesuai kolom yang ada, mengklasifikasikan setiap keluarga dalam tahapan sejahtera lalu mengakumulasi setiap barisnya. Jika ada satu saja yang keliru maka harus dimulai dari awal lagi. Ini salah satu tugas wajib kami selama berada di lokasi. Mata masih ingin menyipit saat mencoba untuk membukanya. Kaki tak ingin melangkah saat diharuskan berjalan. Tubuh tak ingin berdiri saat diharuskan terjaga. Tanah Ampelgading seakan menunggu pijakan kakiku untuk bertemu anak-anak itu lagi. Maka sudah 15 menit aku berada di kelas 4 sekolah sebelumnya.
                “Mbak wiya, sini …”, panggil mbak Yusro di depan pintu kelasku dengan melambaikan tangannya ke arahku. Saat itu anak kelas 4 secara bergiliran sedang memperkenalkan namanya padaku.
                “Iya, mbak…”, ku hampiri dirinya. “Ada apa mbak?”, tanyaku. “Mbak bisa menggantikan aku di kelas lima, nggak? Aku nggak paham soal matematika. Aku yakin mbak wiya pasti yang paham”, wajahnya memelas, nadanya penuh harap. Ingin aku tolak untuk matematika. Materi yang terkadang membuat mataku kelilipan dan kelimpungan. Tapi status sains-ku membisikiku bahwa setidaknya mungkin aku lebih paham dari yang lain.
                Kelas untuk pertama kalinya aku masuki. Tak ada sumber suara satupun. Sunyi menyambut kedatanganku. Ku ambil buku pegangan matematika di atas meja guru. Ku tanya halaman berapa. Ku lihat subbab apa yang akan aku bahas. Asosiatif, distrubutif dan …. Ku baca pengertian sekaligus contoh soalnya. Tuhan, aku lupa perihal ini. Ku korek ilmuku tentang ini yang mungkin terpendam di dasar ingatan. Ku pasang muka serius tanpa bingung. Mendekati papan tulis lalu mulai menyeloteh sedemikian rupa. Seiring penjelasan ku tuntaskan, lama-lama aku paham. Tanpa sadar, anak-anak di depankupun paham. Mereka menjadi lebih bersemangat untuk belajar. Ku beri mereka soal latihan yang dikerjakan berkelompok, mereka bertanya aku jawab, lalu seketika mereka tertawa lepas karena suatu hal yang mereka pahami. Ku beri tebak-tebakan saat mereka beranjak pulang. Antusiasme yang terpancar dari wajah anak pedesaan. Tuhan, berikan mereka kekuatan untuk selalu berusaha dan pemahaman atas apa yang yang seharusnya mereka pahami.
***
                Mungkin pori-pori kulitku sudah sekian lama mengerut. Dinginnya lereng gunung menusuk-nusuk , otot seketika kram lalu ngilu mengkakukan sendi-sendi peluru. Tiga hari tersisa untuk 30 hari penuh. Masa aktif untuk belajar dengan anak-anak semakin berkurang. Tak butuh pulsa untuk memperpanjangnya, karena kartu KKM adalah kartu limited edition khusus untuk mahasiswa tangguh. Langit Mulyoasri dan Tawangagung mengawasiku. Awan kadang bergerombol menaungi, matahari kadang berkelip menyinari.
Sebentar lagi aku akan diusir dari sini. Dibawa kembali oleh kewajiban untuk belajar teori di kampus, lalu berkutat dengan pena dan tugas-tugas. Ada pertemuan, ada perpisahan. Sebuah pernyataan lama yang mungkin berlaku sepanjang masa. Berlaku untuk mereka yang akan pergi, meninggalkan hal yang selama ini dia temani, lalu menghilang dengan ada atau tidaknya niat untuk berjumpa lagi.
Aku berpamitan mengadakan perpisahan secara simbolis di setiap sekolah. Setiap guru mengucapkan terima kasih tak henti-hentinya atas kerelaan kami berpartisipasi membantu kegiatan belajar mengajarnya. Anak- anak itu menghampiri. “Kak, kakak mau pulang ya?”, “Kok cuma bentar, kak?”, “kakak pulangnya kemana?”, “Apa kakak nggak mau balik ke sini lagi?, “Kapan belajar matematika lagi, kak?”. Satu per satu mereka mengintrogasiku. Pertanyaan yang cukup berkualitas untuk seuisia mereka. Teringat pernyataan salah satu ibu tiri dari anak yang aku ajar di sekolah. Bahwa semenjak mahasiswa KKM ada, dia lebih rajin dari sebelumnya. Rajin berjama’ah di Masjid dan belajar di malam harinya. Tau aku akan pulang dua minggu lagi, wajahnya tersirat kekecewaan. Kenapa hanya sebentar, begitu tanyanya.
Memoar selalu saja tercipta. Saat keakraban mulai tersentuh, maka sulit untuk pergi. Bau tanah saat kabut di malam hari kami lewati, jalanan cacat berbatu kami terapas, senyuman khas para penduduk saat berpapasan, jamuan beraneka ragam kami habiskan. Anak pedesaan yang dia ter-bully-kan, merokok hanya karena keluarganya broken home, kondisi tubuh yang abnormal, nakal dan malas karena kurang kasih sayang adalah tanda selama aku bersama mereka. Tanpa diucap mereka memperjelas padaku. Bahwa keceriaan mereka hanya sebatas teman sepermainan dan orang-orang yang ikhlas menemani mereka belajar. Tanpa dunia gadget, ice cream Mc. Flury, bermandi bola, ataupun bermalam minggu bersama keluarga di Jatim Park.  
Sayonara akan segera terucap. Ku bebaskan anak- anak itu berteman denganku siang dan malam. Berkosa kata untuk mengucap dan diucap, bergaul untuk mengenal atau dikenal. Pepohonan rindang menjadi hiasan bumi mereka hidup. Batu akik di tangannya menjadi perhiasan saat tak ada perak. Biarkan mereka jauh dari polusi kota dan keramaian. Biarkan mereka hanya belajar dengan buku –buku lawas yang ada di lemari kelas. Tuhan adalah penentu terakhir atas segala impian.
Berikan mereka sedikit celah untuk pengetahuan, Tuhan. Hidup dengan apa adanya dan apa yang ada. Rasa nyaman tidak hanya untuk mereka yang berkecukupan oleh fasilitas, tapi luapan semangat yang mengalir menorehkan segala kesederhanaan.
                                                                                                                               
Andawiya Stranger
Malang, 03 Oktober 2015

Komentar