Serumpun Kisah Dee




Judul               : Filosofi Kopi
Pengarang       : Dee Lestari
Cetakan           : Keempat belas 2015
Penerbit           : PT. Bentang Pustaka
Tebal               : 134 Halaman

            Tulisan ini hanya sebatas ulasan, tanggapan dari seorang pembaca yang mencoba mengabadikan dan menyimpan memori melalui setiap kata yang dibacanya. Buku ini adalah kumpulan cerpen dan prosa dari seorang Dee, penulis yang katanya perlu diperhatikan saat ini. Ekspresinya unik, visinya sering mengagetkan (Richard Oh). Ya, itu memang benar adanya.
Setiap kisah dalam cerita dan pesan dalam prosanya sungguh menggelikan. Kadang saya merinding dibuatnya, namun tiba-tiba dalam sekejap tersenyum, kemudian mendadak bingung, lalu akhirnya meneteskan air mata. Sungguh pembaca yang mumpuni, bukan?.
Filosofi kopi. Sepasang kata yang  telah lama saya dengar sejak beberapa tahun silam. Yang saya tidak pernah tertarik sekalipun untuk membahasnya. Foto pada bagian  lembar terakhir buku Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh memberitahu saya  bahwa Filosofi Kopi ternyata adalah karya Dee juga. Ini baru pembaca yang ketinggalan berita. Sadar saya.
Kopi yang difilosofikan, entah yang awalnya saya pikir hanya untuk menarik si pelanggan hingga akhirnya kopi tiwus menciptakan sebuah kalimat eksotis “Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.” Tapi yang pasti dalam cerpen ini, saya memahami bahwa filosofi kopi itu sengaja direncanakan dan diciptakan. Artinya, bukan secara kebetulan atau terlahir dari sebuah buku lawas yang menjadi kepercayaan.
Jadi apa yang disukai, akan terlahir sebuah filosofi karena dia telah menyatu dengannya dan berusaha mentransformasikan apa yang dirasakannya menjadi gambaran kata demi kata yang sarat makna.
Anda bisa berbeda pendapat dengan saya, bergantung Anda melihat dari sisi mana dalam kisah Filosofi Kopi ini. Bisa jadi. Jika Anda adalah penikmat kopi, maka anda akan menggebu-gebu memahaminya, dan setuju dengan setiap filosofi Ben di setiap ramuan. Lalu berkata,”Memang benar. Kopi itu pahit tapi mengandung manis.” Atau “Tak Ada yang bisa menandingi karisma secangkir kopi” dan ungkapan lainnya. Tapi pada intinya, cerita pendek ini sangat mengejutkan.
Ada satu cerpen lagi yang membuat saya tercengang. Rico de Coro. Sebuah kecoak yang menceritakan kehidupannya sebagai binatang rumahan yang sangat dibenci manusia dan selalu dekat dengan ambang kematian pembasmi hewan. Membacanya saya seperti memposisikan saya sebagai kecoak, dari bagaimana perasaannya diinjak-injak manusia baik dengan sandal maupun parfum pembasmi hingga kecoak yang rela mati karena racun hewan kelinci percobaan mengenainya demi melindungi si putri tuan rumah yang dipujanya secantik jagat raya. Wah, sungguh dunia khayal yang cukup logis.
Namun ada satu kisah yang saya tidak bisa memahaminya dengan sekali baca yaitu Sepotong Kue Kuning. Saya belum membacanya ulang ketika menulis tulisan ini sehingga saya tidak akan cukup hanya memberikan gambarannya.
Selain itu, sebuah prosa yang berjudul Jembatan Zaman menyadarkan saya bahwa dewasa itu bukan sebab usia, tapi pola pikir dan sikap kita yang tetap berpacu dalam menjalani dan menghadapi kehidupan bagaimanapun alurnya. Setiap judul dalam buku ini mengandung benih-benih pesan yang beragam. Yang mungkin ada sebagian orang yang mengalaminya atau bahkan akan baru tersadar ketika membacanya.
 Seperti penggali tambang handal yang menemukan tambangnya di tanah yang tak terduga sebelumnya. Sebagus apapun sebuah tulisan, jika tak mampu mengajak si pembaca untuk tenggelam mencari makna di balik kata-katanya, tetap saja tulisan itu hanyalah tulisan semata. Tanpa makna dan pencerahan setelahnya.

Komentar