Idul Adha di Malang 2016



            Entahlah karena apa, untuk tahun ini aku tidak pulang dan merayakan Idul Adha di rumah. Teman kuliah dan kosan semua pulang, sementara aku tidak. Dengan alasan yang sesempurnanya aku utarakan, bahwa aku memang tidak ada inisiatif pulang, karena beberapa minggu kemarin aku ke Madura dalam rangka takziah. Yah, meski tidak mampir ke rumahku sendiri tapi aku merasa bolak –balik jika sekarang aku pulang lagi (ke Madura lagi).
            Alasan lainnya adalah bahwa jarak antara Idul Adha dan Idul Fitri sangat sebentar. Aku merasa seperti menghabiskan uang transportasi saja jika demikian. Biaya pulang pergi sekitar 120-150 ribuan. Aku tidak mungkin meminta uang lagi pada Bapakku dengan waktu 5 hari aku di rumah. Dan menetaplah aku di kosan.
            Aku bersama dua orang temanku. Satu temanku yang dari Bima (Mawar) akan menginap bersama teman tanah kelahirannya yang lain dan nyate pula. Jadilah untuk malam minggu, aku hanya berdua dengan temanku yang satunya lagi. Namun kita tidur di kamar masing-masing sehingga kita hanya sendiri di kamar masing-masing pula. Aku lebih suka menyendiri sebenarnya. Dalam artian, di kamar  tanpa siapapun. Karena aku bebas dalam melakukan hal apapun. Nyanyi dengan suara sekerasnya, misalnya. Karena aku merasa bahwa suaraku tidak jelek-jelek amat. Kata temanku, suaraku bagus sih. Maka aku tidak jarang pula merekam suaraku ketika bernyanyi dengan recorder di handphoneku. Setelahnya aku dengarkan suara hasil rekamanku lalu bergumam ; ternyata suaraku begini ya kalau nyanyi. Hahaha … akhirnya tertawa sendiri. Stress? Kamu bisa bilang iya atau tidak.
            Selain itu aku bisa tidur gelimpangan dengan gaya sesukaku, nonton film tanpa suara berisik, sampai kentut tanpa ditahan karena malu ada teman. Hal terakhir ini yang sering aku lakukan. Entahlah kenapa, perutku terlalu sensitif dalam menyumbangkan banyak gas.
            Keesokan harinya aku bangun tidur seperti biasa. Kali ini lebih pagi. Teman depan kamarku (Lusi) juga sudah bangun ternyata. Dia selalu lebih pagi, bersih-bersih kamar dan mencuci pakaiannya dengan rajin. Lain halnya denganku. Selalu malas-malasan jadi ya bergantung pada situasi dan kondisi perasaan. Apalagi jika sudah bad mood semua malas aku kerjakan kecuali ibadah 5 waktu, makan dan tidur. Apalagi jika sampai aku patah hati gegara pacar nantinya?. Bisa-bisa aku seminggu di kamar.
            Bukan mandi pagi aku malah tiduran di kasur lalu menghidupkan laptopku untuk melanjutkan film yang ku tonton semalam. Dengan selimut yang masih aku singkapkan ke tubuhku, aku merasa lebih hangat dan nyaman. Aku jadi teringat bagaimana orang tuaku jika melihat aktivitasku ini. Mereka akan bertanya padaku,”Oh, jadi begini kerjaanmu di Malang. Biasa tidur pagi, ya?.” Lalu aku akan bergegas keluar, mandi. Namun jika kondisinya di kos seperti ini, siapa yang akan berkomentar? Kecuali aku sendiri yang sadar.
            Tiba-tiba Lusi memanggilku. Dia berpamitan akan pergi ke rumah neneknya. Otomatis aku kaget. Karena sebelumnya dia yang sepertinya ingin aku menemaninya di kos karena dia memang tidak mau pulang. Aku tanya baliknya kapan, dia jawab tidak tahu. Mungkin nanti sore, katanya. Aku mulai rada tidak tenang. Masa iya aku sendiri di kosan. Rada kesal juga, karena aku ditinggalkan sendirian begini. Tapi ya sudahlah. Memang berstatus single toh, sudah biasa sendiri.
            Tak apa aku sendiri yang penting aku bisa makan. Maka ku kunjungi Indomart hari itu dan membeli camilan untuk persiapan besoknya. Karena besok adalah hari lebaran di mana pasti tidak akan ada toko buka atau penjual nasi sekalipun. Lalu aku makan apa? Pop Mie.
            Sore tiba Lusi tidak kunjung datang. Aku tanya dia kapan pulang jawabannya dia mau menginap karena kakeknya yang menyuruhnya. Aku mengirim emotikon sedih lewat bbm ku padanya malah dia menanyakan Mawar padaku. Oh, sepertinya dia tidak tahu kalau Mawar juga pergi menginap di kos temannya yang lain. Ya sudahlah. Aku sendiri di malam takbir.
            Jam maghrib kos terlihat sepi. Ya memang sepi sedari kemarin. Suara takbir mulai bergema. Aku masih tetap duduk di depan laptop menonton film sehabis sholat makan dan tidur. Seketika keluargaku di rumah terbayang. Bagaimana mereka beramai-ramai membuat kue, makan daging atau sate dengan gembira. Lalu tanpa sadar, air mataku jatuh seketika.
            Jika kau melihat kondisiku saat itu, aku seperti di sebuah rumah kosong yang hanya ada aku di dalamnya. Dengan posisi lutut yang ditekuk, lengan yang di lingkarkan padanya lalu mata yang hanya mematung menatap layar monitor laptop. Tapi untunglah aku bisa menghibur diri bersama aktor film yang aku tonton. Hebat, bukan? Mungkin kau tidak akan betah dan berani jika berada dalam kondisi sepertiku. Aku yang dari kemarinnya tidak pernah meminta teman di kosan, malah aku yang ditinggal sendirian. Benar-benar seoarang wanita single yang tengah diuji ke-single-annya.
            Aku tak ingin berlama-lama mndramatisir malam takbirku, karena esok harinya ada yang lebih meringis lagi. Tepat paginya Idul Adha aku mengalami gangguan pencernaan. Deare. Mencret kalau tidak paham. Teman yang sudah ku janjikan sholat bersama di masjid kampus sudah berada di TKP terlebih dahulu di saat aku masih berjuang di kamar mandi. Aku kembali ke kamar dengan wajah sayu seperti telah gagal dalam meraih mimpi : sholat Ied bersama. Dengan terpaksa aku hanya berbaring di tempat tidurku, mencet tombol hp dan mengetik sebuah pm bbm: Apalah daya L .
            Pagi menjelang siang, aku lapar. Ku makan pop mie yang ku beli kemarin. Allah. Ini hari daging sedunia, ku bilang. Tapi masih ada di sini yang bersikeras dengan pop mie-nya. Masih ada orang-orang terlantar di luar sana yang belum tentu bisa makan daging sepuasnya. Aku jadi mendadak rindu pada tukang sate di depan kampus. Bukan tukang satenya, tapi satenya.
            Siang menjelang sore aku lapar lagi. Aku chat Mawar dan Lusi untuk membelikanku makanan apapun itu baik nasi atau roti. Yang penting ia mengandung karbohidrat. Jika memang di masa purba, tak apa singkong rebus atau ubi jalar. Namun sampai malam maghrib tiba, keduanya belum tiba. Aku menahan lapar hingga Isya’. Mawar membelikanku sari roti. Harapanku buyar sedari tadi membayangkan nasi lalapan. Aku makan roti itu, ku cabik-cabik ia dengan perasaan senang tak terkira.
            Teman-teman chat-ku banyak mengirim emotikon sedih padaku, sebuah motivasi agar aku bersabar, jangan sedih, dan bla bla bla. Hingga akhirnya ada yang menyuruhku untuk mencari makan di depan kampus saja, pasti ada karena sebenarnya banyak mahasiswa maba yang tidak berpulang ke rumahnya. Aku tersadar. Dari kemarin aku memang kurang berusaha. Hanya mengurung diri di kamar dan menyatu dengan kemalasan. Berharap ada orang yang tiba-tiba memberiku makan dan minuman.
            Dengan sedikit perasaan sedih, aku keluar seorang diri. Dan ternyata jalanan begitu ramai. Warung makan pada buka apalagi banyak pembeli yang antri.  Obik …
Kamu masih kurang dewasa ternyata. Kamu terlalu manja untuk seorang mahasiswa semester akhir. L

Komentar