Catatan; Minggu Terakhir di Juni 2017

Pijakan kaki pertamaku pada tanah Madura yang sedang basah. Di depan teras sebuah toko aku bersama kakak ipar sepupuku sedang berteduh. Travel yang baru saja membawaku terlihat semakin menjauh lewat asap dari knalpotnya. Wajah-wajah pak sopir angkot yang bergantian memusatkan perhatiannya padaku, berharap aku akan melambaikan tangan untuk pergi bersama mereka, namun ternyata aku yang menolaknya dengan melambaikan tangan pula sembari menggelengkan kepala.
Terasa lelah menggendong ransel, ku putuskan untuk berangkat saja meski hujan masih mengintai jalanan. Jika cepat sampai, aku akan cepat merebahkan badan. Motor Suzuki Bravo 100 milik bapakku masih setia rupanya menjemputku. Satu kardus dan satu tas baju di posisi depan, sedangkan aku membonceng dalam posisi sebagaimana perempuan ber-rok dan memeluk plastik kresek hitam besar berisikan oleh-oleh untuk keluargaku. Kakak ipar sepupuku mulai melajukan motor. Ah, sungguh motor yang kalem dan santai. Teringat perkataan kak Sidi (kerabat dekat rumahku) ketika aku sedang diboncengnya, ”Motor ini bagus, le’. Sudah lama, kan? Sudah dipinjam banyak orang, di bawa ke jalan beraspal dan pegunungan. Tetap saja, awet. Ya … meski tidak sekencang motor-motor yang mulus begituan.” Biasanya dia berbicara dalam bahasa Madura halus. Entahlah, padahal aku yang lebih muda.
*** 
Dalam peraduannya yang hangat, aku dan ibuku tengah berbaring dalam selimut yang berbeda. Seperti biasa, sebelum tidur malam ini, kali ini ibu akan bercerita. Cerita tentang sanak saudara, problema, harapan dan do’a,
Jika ku simpulkan, ceritanya begini.
Bapak si Ita sudah meninggal. Rumahnya beberapa meter dari rumahku. Ita adalah anaknya yang sempat dititipkan padaku di pondok dulu. Aku sempat menemaninya belajar mengaji dan jika bertemu denganku, dia akan menyapa dan menyalamiku. Seperti dia juga, jika aku bertemu ibunya kami akan saling menyapa dan si Ibu akan bertanya kapan aku tiba dan bagaimana Ita saat itu. Bapaknya meninggal di Bali dan jenazahnya tiba dua hari yang lalu. Suara sirene Ambulance sejauh 1 km sudah terdengar dan membangunkan bulu kuduk orang-orang yang mendengarnya. Setiap empunya jantung akan mendadak berdetak lebih cepat dengan nuansa kulit yang mendingin, lalu disusul dengan suara jeritan dan tangisan yang memecah perempatan jalan.
Sanak saudara dan besan yang tengah terpukul, teriakan kerabat yang tengah menenangkan, tangis bayi dan anak-anaknya karena ketakutan dan kegaduhan, meluap menyatu seperti kobaran api yang kian memanas. Pada hari itu, rumah Ita sedang berduka. Namun juga akan seperti memberi barokah, karena orang-orang yang saling menjenguk dan memberikan do’a serta keluarga yang memberi makan orang-orang yang sedang berpuasa saat tahlil bersama.
*** 
Pagi pertama di tanah kelahiran, mengkidungkan nyanyian samar dari hati dan pikiran yang tenang. Si putri tidur ini tengah berjalan sempoyongan keluar kamar, sementara bapaknya sudah berada di tengah-tengah sekam padi yang mengampar di teras rumah. Bapak yang sudah menua, uban yang semakin subur dan gigi yang ngilu saat makan daging sapi namun masih tetap tegar dengan aktivitasnya. Setegar pohon kelapa dengan buahnya yang sudah berwarna coklat, dengan daun janur yang kian hari semakin merunduk.
Tuhan … Ini bukan mimpi. Betapa lugunya aku di waktu kecil saat memandangi wajah tegap bapak. Aku pikir, beliau akan selalu muda. Wajahnya akan tetap seperti di foto itu. Di foto ijazahnya itu. Rambutnya akan tetap hitam, kulitnya tak akan keriput dan tak akan kurus. Ya, bapakku akan selalu muda. Heh, dasar pikiran anak kecil. Tanpa sadar air mataku tumpah. Meski setetes tapi cukup mampu menyesakkan dada.
*** 
Keluarga kami biasa memanggilnya ‘Nyi Keni’ yang dalam bahasa Indonesia artinya nenek kecil. Si nenek kecil tua itu tiba-tiba datang dengan endusan nafasnya yang terdengar engah. Bungkuk tubuhnya karena usia, semakin kecil, kurus dengan jalannya yang tersendat-sendat. Beliau adalah penjual lauk-pauk ikan cakalan dan tempe yang dijaja secara bergantian ke rumah-rumah, dari warga yang paling miskin, kaya, tertindas hingga terhormat seperti keluarga para nyai dan kyai. Rumahnya di Desa Brumbunng, 3 km dari rumahku. Sejauh itukah dia harus berkeliling dalam dagangannya dan masih bertahan sejak aku masih anak-anak hingga saat ini.
Kali ini, beliau tidak datang dengan lauk-pauknya. Sandangnya lebih terlihat bagus dan rapi. Sarungnyapun bukan sarung yang beliau pakai sehari-hari. Aku dan bapak menyambutnya dengan sumringah. Ah, ternyata beliau mampir ke rumah hanya untuk berbagi sedikit jajan oleh-oleh sehabis bertamu ke dhalem nyai Khodijah. Bapak mencoba menolaknya dengan alasan tak usah repot-repot, namun nenek ini tetap saja memaksa membuka plastik oleh-olehnya. Bapak mulai mengelus-elus pundak si nenek. Bapak tersenyum sedangkan aku lebih tersenyum lebar dengan gigi yang mungkin saja terlihat dari kejauhan.
Nenek ini, seorang perempuan tua yang sudah bertahun-tahun dengan berdagang keliling. Ikan pindang, cakalan, tempe bahkan krupuk yang beliau  bawa di atas kepalanya hingga tubuhnya terlihat semakin membungkuk karena beban yang dibawanya, tak ada beda saat panas atau hujan dan bahkan rasa ngilu pada urat-urat ototnya. Perempuan yang tangguh.
*** 
Sore itu mak Rupah datang dengan wajah lesu. Ah, beliau memang selalu begitu. Ketika sudah duduk di papan kursi dalam dapur, dia akan mulai mengadu, mencurahkan segala isi pikirannya dan ibuku akan setia mendengarnya sambil mengulek rempah, memeriksa nasi dalam panci, atapun sambil mencuci piring. Akupun juga akan diajak bicara, membahas  duit yang kian sulit dicari karena bahan-bahan naik, bayar hutang yang tak kunjung lunas, beras untuk berkunjung ke sanak saudara saat lebaran nanti, kondisi badan yang tidak baik, kepala yang pusing namun sempat reda karena minum Bodrex, tembakau yang gagal panen, hingga arisan bulanan yang dia inginkan.
“Kalau ada arisan bulanan, saya ikut ya Say. Kalau arisan yang mingguan mungkin saya belum mampu. Tapi kalau bulanan jika memang ada rezeki dari jualan nasi besok, tiap harinya saya akan nyetor ke kamu seribu dua ribu. Duit itu tidak akan dikasih ke siapa-siapa, biar tak kasih ke kamu.” Begitu kira-kira harapannya. Mbak Say, sepupuku hanya mengangguk memberikan respon.
*** 
Dan sebelum aku kembali lagi ke Malang, pertanyaan akan kepastian kapan aku wisuda tak henti-hentinya keluar bergantian dari orang-orang. Haha. Ini berbeda dengan pertanyaan yang biasanya diajukan pada teman-teman. ‘Kapan nikah?’. Aku beruntung. Aku dikelilingi keluarga dan kerabat yang selalu mendo’akanku tanpa henti. Semoga sukses. Semoga skripsinya  lancar. Semoga apa yang dihajatkan diterima.
*** 


Komentar