Siapa Mencintai Siapa

informasitips.com
Sebuah kabar telah membumi pagi itu. Kabar yang cukup menggelantungkan setiap leher-leher yang mendengarnya, mencekik tenggorokan-tenggorokan terowongan pernafasan dan menggelayutkan perut-perut lalu memuntahkan seluruh isinya. Desa itu tengah dilingkupi awan hitam, mendapatkan kiriman salam duka dari dewa di balik batu nisan. Sekapling tanah akan segera terkotak-kotakkan untuk dua orang lelaki tua yang tengah mulai menunggu memasukinya dengan erangan kesakitan yang  telah membawanya ke dunia ekstase keabadian.
            “Supardi dan Norman?!!,” orang-orang desa itu tengah jumpalitan menengadahkan dada karena detak jantungnya yang semakin tidak karuan. Teriakan dua nama itu tak henti-hentinya bergema di seantero alam, semakin seru dengan iringan tangisan kehilangan oleh para wanita dan tangisan para anak kecil ketakutan.
            “Kejadiannya tadi malam?.”
            “Dosa apa ini, Tuhan …”
            “Bagaimana ini terjadi, astaghfirullah …”
            “Mereka kakak beradik, kenapa ceritanya seperti ini?.”
            “AYOOO, kita bantu bereskan. Panggil polisi dan aparat desa!!!.”
            Buraian cairan merah itu begitu kental. Sekental nanah pada kusta yang menggerogoti tubuh si jalang. Apak amis  yang membaur serupa asupan parfume pagi menyengat ke hidung-hidung orang-orang yang melihatnya dengan ketakutan. Dua tubuh menyeramkan bertumpahkan darah itu terlentang dengan gaya bebas berarah. Sebebas beban pikiran pengganggu yang baru saja mereka tumpaskan lewat dua arek yang tergeletak tak berdaya setelah menembus urat-urat dan daging si empunya.
            Orang-orang mulai mengangkat mayat-mayat itu, Membawanya menjauh dari kerumunan dan mendekatkannya pada si keluarganya yang berduka. Nawirah, istri Supardi menangis dengan teriakan mengeluarkan kata-kata aneh dari mulutnya  yang mulai berbusa oleh ludah. Kata-kata duka yang terdengar tak rela dan tak menerima kejadian ini keluar dari mulutnya tanpa henti hingga tangisnya yang menjerit-jerit berubah menjadi sesenggukan tangis yang tenggelam dalam suaranya yang hilang. Jauh dari hadapannya seorang wanita melakukan adegan yang sama. Istri Norman, Riswati menangis melolong-lolongkan nama suaminya. Seakan-akan mencari pangkuan suaminya di sudut-sudut langit yang mulai meredup di bawah bayangan sinar matahari.

1996 sebelumnya
            Seribu sembilan ratus sembilan puluh enam sebelum adegan itu terjadi. Malam itu Norman dan Supardi beserta masing-masing kedua istrinya tengah mabuk pada pembicaraan hangat namun serius. Si bayi kecil Nafa, berada di pangkuan sang Ibu Riswati. Sedang si anak kecil Rizki, putra dari Supardi menonton tv di dalam ruang tamu. Sendiri.
            “Ya … memang begini. Mbah ingin kita tetap erat hubungannya. Tidak putus oleh apa dan siapa. Beda rumah tapi setanah. Iya toh, kak?,” Norman berbicara begitu pelan terasa hangat.
            “Aku juga dulu begitu. Si Nawirah aku dapatkan karena ya … sedarah denganku. Masih ada kidung keluarga meski jauh.” Supardi menimpali. Tak mau kalah dengan keinginan kuat adiknya itu untuk menjodohkan anak mereka berdua.
            Nawirah mencabik ketan hitam yang ada di hadapannya. Melayangkannya ke mulutnya. Diseruputnya kopi asli hitam yang hangat bukan kopi racikan bercampurkan susu atau pemanis buatan dengan cangkir porselin berlukiskan bunga mawar lawas. “Semoga saja anak-anak kita menjadi sumringah. Mereka belum tahu apa-apa toh tentang apa yang kita perbincangkan sekarang.”
            “Haha … biasanya anak jaman sekarang ya … ikut- ikut saja. Patuh. Tak akan ada yang berani membantah. Orang desa ya orang desa. Kota ya kota. Gak akan kemana-mana.” Riswati seolah-olah menelaah dari kaca masa lalunya. Seolah-olah semua akan tetap sama dengan bertambahnya tahun maupun pergantian seribu musim yang mungkin akan tiba. Dia bersuami Norman memang permintaan tetua mereka. Persaudaraan Norman dan Supardi adalah sedarah biru dari seorang ibu dan ayah yang telah lama mendekam di liang lahat yang tenang. Supardi lebih tua satu tahun dari Norman yang entahlah keinginan mereka untuk sama-sama menjodohkan anaknya sehingga menjadi satu keluarga yang utuh tak terpisahkan. Kepercayaan mereka bahwa persaudaraan dari generasi famili harus dipertahankan. Tidak perlu mencari orang lain yang bukan satu nasab untuk beradu keluarga baru yang haru. Kedekatan keluarga sendirilah yang ingin mereka koleksikan. Sebuah visi yang sangat mengharukan.
            Pembicaraan itu terhenti oleh tangisan Nafa yang mulai meraung-raung saat suasana malam yang semakin kelam. Tangan mungilnya terkepal erat seakan-akan hendak menangis hingga sesenggukan. Meminta sang ibu untuk menghentikan pembicaraan dan menidurkannya di atas kasur beralaskan sarung serta jauh dari keramaian. Sang sepupu Rizki yang sedari tadi menonton tv telah terlelap di atas tikar janur dengan terlentang.

2012 berlalu
            Rizki menahan kedua kakinya agar tubuhnya berdiri. Sesekali dijinjitkannya kedua kakinya itu untuk mengubah pola dan melancarkan aliran darah telapak kakinya yang mungkin tersendat. Tangan kanannya melingkar pada besi di atas kepalanya agar tetap pada posisi tegak berdiri meskipun tubuhnya tetap bergelayutan saat bus mulai berbelok ke kanan dan ke kiri. Kulit halusnya bereksresi oleh keringat yang mulai membahasahi sisi leher dan punggung bajunya. Seperti mandi tanpa wangi sabun apalagi kembang tujuh rupa. Bau keringat para penumpang di depan belakang dan kanan kirinya berhamburan bertabrakan menyelusup ke lubang hidungnya yang dirasakannya menyengat ngengat memusingkan kepala.
            Tiga jam Rizki berdiri di atas bus. Stok tempat duduk tak tersisihkan oleh para penumpang yang meruah hendak meninggalkan lokasi awal menuju lokasi akhir entah kemana. Rizki kembali hendak meninggalkan desa untuk sementara waktu menuju kota sebelah dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mahasiswa setelah menjenguk kedua orang tuanya di rumah. Rizki dewasa menjadi pemuda tangguh, cinta pendidikan dan tak mau hanya menjadi pria tanah tegalan. Segala restu sang orang tua dia pertaruhkan dalam waktu yang lama untuk mimpinya yang sempurna. Karena dia tahu bahwa kerelaan Tuhan terhadap seorang anak adalah terletak pada kedua orang tuanya. Lalu bagaimana jika seandainya dia tidak mendapatkan restu kala itu? Hati Rizki sempat berkata, “Hah. Aku akan tetap bersikeras memburu kata. Aku tak ingin hanya seperti pria di desaku yang seumuran denganku hanya mencangkul tanah di sawah, badannya menjadi hitam kusam karena panasnya matahari, setelah berumur kepala dua akan menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Seketika menjadi sepasang pengantin baru, menua dengan padi-padinya, wajah yang menjadi kerut merut dengan wasiat-wasiat sang mertua.”
            Selepas ingatan itu, tiba-tiba satu wajah berkelebat dalam benaknya. Nafa. Rizki telah berkali-kali membuyarkan bayangan itu sepanjang perjalanan. Ada beberapa hal yang tak dia pahami semenjak dia mengenali perempuan itu. Yang dia kenal sebagai seorang sepupu. Mengapa teman kecil sepermainannya selalu mensenyumi Rizki ketika berpapasan dengan Nafa, begitu pula teman-teman Nafa. Ketika Rizki bermain bersama temannya lalu tiba-tiba kedatangan Nafa, atau Nafa yang biasanya datang bersama ibu dan bapaknya ke rumahnya jika ada suatu acara. Jika Rizki berkunjung ke rumah Nafa bersama kedua orang tuanya, Nafa tidak akan keluar menyapanya atau bahkan bermain bersamanya. Sebaliknya dia menghilang di tengah kerumunan bersama teman-temannya yang lain, atau hanya di dalam kamar dan akan keluar jika si Rizki pulang. Bahkan pernah ketika Rizki telah remaja, saat dia nongkrong di pinggir jalan layaknya remaja sebayanya, dia sempat melihat Nafa yang berjalan searah dengan tempatnya dia berada, tiba-tiba perempuan itu kembali menghilang dari pandangannya. Akankah perempuan itu malu? Atau karena dia benci akan gojlokan yang menurutnya menjijikkan untuk anak seusia kelas 5 SD itu?.
            “Rizki, kamu katanya tunangan, ya?.” Satu pertanyaan temannya meluncur  bak peluru saat mereka bermain kelereng di tanah lapang depan rumah.
            “Ihhirr, iya tuh sama Nafa.” Sahut temannya yang lain tertawa girang.
            “Kamu ngomong apa? Nggak kok. Awas ya ngomong gitu lagi.” Dari sudut mata kirinya, Rizki mengintip si Nafa yang bermain berseberangan dengannya. Benaknya mulai bergelantungan pertanyaan nakal. Apa iya aku bertunangan? Sejak kecil seperti ini? Untuk apa? Paman dan bapak memang setujukah? Mereka belum pernah berkata apapun padaku. Jika memang iya, seharusnya setiap malam lebaran aku bertandang ke ruang tamunya bersama kedua orang tuaku, membelikannya sebuah baju, jilbab dan sandal. Sama seperti orang-orang ketika mereka bertunangan. Tapi aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku tidak suka ditunangkan seperti ini. Aku tidak suka akan setiap gojlokan ini. Rizki kecil seakan mulai memahami setiap pembicaraan teman dan tetangganya. Entah kabar itu benar atau tidak, hingga saat ini setelah dia menjadi dewasa belum pernah dia tahu kepastiannya. Bertanya pada bapak ibunyapun tak pernah ada niat dalam hatinya. Yang pasti, gojlokan itu kini tak lagi terdengar oleh telinganya. Dia tak lagi sungkan atau terlihat sesal saat bertemu Nafa yang juga tumbuh menjadi gadis dengan jilbab yang selalu menutupi kepalanya. Nafapun terlihat bersikap biasa saja saat mereka berpapasan. Satu yang tak pernah mereka abdikan setelah mereka beranjak sebagai seorang pria dan perempuan, disaat waktu mereka mengerti apa dan untuk apa itu sebuah ikatan dan hubungan antara pria dan perempuan. Mereka belum pernah saling bertegur sapa. Kecuali jika memang keadaanlah yang mengharuskan mereka berbicara. Bukan hanya sekedar sapa, tapi larut dalam pembicaraan yangs serius dan cukup lama dari mereka yang duga. Seperti pada malam itu.
            “Bisakah kita berbicara sebentar?.” Tanya Rizki memulai.
            “Silahkan.” Suara Nafa terdengar sengaja di-relax-kan. Degup jantungnya disadari kian kencang hingga dadanya terasa panas, sesak. Belum pernah dia berbicara dengan hanya seorang pria berhadapan seperti pada Rizki kala itu. Pria yang didengarnya adalah tunangannya, meskipun hanya sebuah suara-suara dari teman kecil dan tetangganya. Yang pasti dia adalah sepupunya. Masih terikat darah dan sepasang keluarga.
            “Aku tahu kabar itu sedari dulu. Belum tahu kebenarannya tapi sedikit demi sedikit aku mulai memahaminya. Bahwa orang tua kita hanya menginginkan orang-orang yang terbaik bagi anak-anaknya. Bagi kau dan aku. Pemikiran orang-orang jaman dulu, ya seperti itu. Bukan zaman Siti Nurbaya tapi cerita akan terlihat sedikit sama jika salah satu pihak sedikit tidak suka.”
            “Musim perjodohan dini masih berlaku. Jujur aku tidak suka itu.”
            “Benarkah?.”
            “Iya. Haruskah aku menjelaskannya pada orang tuaku kenapa aku tidak suka? Tidak. mereka tidak akan paham. Aku hanya bisa tertawa dalam rasa ketidaksukaanku. Entah bapak ibuku akan berkata apa nantinya aku belum bisa memastikan. Aku tidak akan memikirkan hal-hal yang begitu aku anggap ketidakpastian.”
            “Tapi … bolehkah aku tahu, kenapa kau tidak suka? Kau tidak menyukai perjodohan ini apa kau memang tidak menyukaiku?.” Raut wajah Rizki terlihat lebih serius ingin tahu.  Suaranya lebih tertekan dan kata terakhir terdengar lebih pelan. Dia tersadar atas pertanyaannya yang dia ajukan. Sempat menyesali terhadap dirinya mengapa dia melontarkan pertanyaan itu. Sebuah tanya yang tiba-tiba saja mendarat di benaknya dan tanpa disangka mulutnya telah siap untuk berkata. Matanya tertunduk letih setelah beberapa detik dia arahkan pada wajah Nafa. Benar-benar menyesal kenapa dia harus mengucapkannya. Tak ada jalan lain selain menunggu jawaban sang lawan di hadapannya. Hanya satu jawaban yang dia harapkan. Semoga Nafa memahami atas sikapnya terhadapnya selama ini.
            “Menurutmu?.” Suara itu terdengar lagi. Tapi bukan jawaban. Bahkan sebuah tanya yang mengembalikannya pada tanyanya sendiri.
            “Aku tidak bisa menebaknya. Apalagi isi hatimu. Bagaimana kau mengaggapku sebagai pria. Setidaknya sepupumu yang sama seperti saudaramu yang lainnya.”
            “Baguslah kalau begitu. Aku bersyukur Tuhan membuatmu tidak tahu. Menurutmu … jika sepasang lelaki dan perempuan dijodohkan, lalu salah satunya tidak suka atas perjodohan itu. Maka mungkin orang lain akan menganggap bahwa dia tidak menyukai pasangannya. Begitukah?.”
            “Hmmm, bukannya memang begitu?. Lalu atas dasar apa dia tidak menyukainya. Jika memang suka dengan pasangannya, dia akan menyukai perjodohan itu dan menganggapnya seperti sebuah jalan menuju roma. Kumbang tak akan berhenti menghisap madu sang Mawar, tak akan pernah berhenti berubah rasa meski lazuardi mulai menghitam.”
            “Sudahlah. Tak penting kau mengetahuinya. Aku juga begitu. Tak perlu tahu apakah kau juga tidak menyukai atau malah sebaliknya. Langit dan bumi tidak akan pernah bersatu. Tapi mereka akan selalu ada. Bumi tak akan terang di kala malam jika bulan tak menggantung di langit. Langit tak akan dianggap luas jika tak ada penghuni di bumi. Aku tidak memaksamu untuk menganggapku sebagai perempuanmu. Itu saja.”
            Percakapan itu berakhir setelah pernyataan Nafa. Seolah-olah Nafa memberi tali yang longgar untuk Rizki. Dengan seribu dugaan Rizki mengumpulkan makna-makna dari setiap perkataan Nafa. Perempuan itu tak ingin dia terpaksa menjadi lelakinya. Jika demikan, dia bisa menolak dengan mudahnya tanpa membuat hati Nafa sakit dan menangis. Dan jika dia memang menyukainya, dia tak akan mudahnya akan berkata demikian. Sebuah keputusan yang dia anggap ketidakpastian. Namun akan pasti jika perjodohan itu dilepas atau diikat lebih erat.
2013 menyapa
            Siapa yang tahu hati akan berlari mendekat atau menjauh. Kecuali si pemilik hati itu sendiri yang seleweran hendak berkunjung ke arah yang dia kehendaki. Siapa yang tahu hati akan berlabuh pada pemilik hati siapa. Kecuali si pemilik hati itu yang lebih dulu menyadarinya.
            Kupu-kupu mulai berbenah diri. Menanggalkan sayap-sayap kumbang yang kini mulai rapuh berjatuhan. Burung-burung mulai bersahutan meminta pulang. Pada sore yang tengah jatuh di atas sepasang mata yang kian nanar. Lelaki dan perempuannya tengah melepas diri. Mereka berhenti pada satu arah yang bercabang lalu tidak berjalan bersama-sama lagi. Sebuah kuas menyakitkan tengah menggores pada hati sang perempuan. Melukiskan nestapa yang telah sebelumnya dia bayangkan. Lelaki itu ternyata benar tidak menyukainya. Jawabannya sangat tepat malam itu. Pikirnya.
            Sang lelaki merasa lega. Melepasnya dengan rasa hormat pada seorang perempuan biasa. Hatinya seperti baru saja tecuci oleh benih-benih keraguan yang dirasakannya. Lega. Akhirnya perempuan itu mengerti. Mengerti bahwa dia tidak ingin bersamanya.
            Bukan sang perempuan tidak menyukainya. Tapi perjodohan itu bukanlah jalan yang semestinya. Dia yang tahu sang lelaki menyukai siapa. Bahkan tanpa sang lelaki memberitahunya. Sangatlah sulit lelaki sepertinya akan bersamanya. Perempuan desa dengan pekerjaan menyawah, membantu ibunya di dapur dan tak akan pernah menjadi perempuan berkarir untuk lelaki yang telah lama hidup di kota. Rupanya si perempuan sadar sesadar-sadarnya. Dia memberikan lampu hijau sebelum rasa penyesalan melandasnya saat lampu kuning menyala. Matanya sayu menatap awan yang menghampar di bawah langit yang biru.

2013 berduka
Lama kabar itu menggeliat di telinga sang orang tua. Ada yang memaksa dan yang dipaksa. Sang adik bersikeras untuk menjadikan sang lelaki sebagai menantunya. Namun rupanya sang kakak tak rela jika anaknya terus tetap bersama keponakannya. Mana mau lelaki yang telah merantau dan menimba ilmu di kota seberang hanya akan mendapatkan perempuan yang hanya terjaga di dapur dan ranjang.  Nyaman di seberang tapi tak nyaman di hati. Nyaman di orang tapi tak nyaman dalam diri.
            Urat-urat mulai menegang dan berakhir dengan nyawa yang telah siap terbang. Malaikat maut seakan tersigap siap berada di antara dua lelaki itu. Menciptakan sebuah cerita lara yang menggundahkan hati pendengarnya. Sebelum pepohonan menjadi saksi bisu atas persetuan itu. Mereka bagaikan sepasang kera yang lari ke pura-pura untuk memohon ampun jika mereka melayang menuju surga setelahnya. Hati Norman dan Supardi kadung sesal. Tanpa tahu alasan anak mereka memutuskan tali ikatan. Pikiran mereka begitu keras akan keinginan. Entah benci yang kian tiba-tiba menyulap keduanya menjadi seperti musuh yang tiba-tiba ganas saling mencengkram. Mata matahari mulai menyipit. Menghitamkan langit dan isinya. Detak bumi kian kacau. Keduanya mulai saling meracau.

            Jauh di balik raganya yang telah pergi, satu wajah menatap kerumunan itu dari sisi pohon yang sepi. Matanya bergerimiskan air mata hingga pipinya terasa dingin saat mengusapnya. Sementara si lelaki berada di sisi pohon lain sebelahnya. Sembunyi tak ingin menampakkan wajahnya. Dadanya terasa berat, kakinya seakan lemas tak berdaya menahan beban pilu yang baru saja menamparnya. Entah bagaimana mereka melukis sejarah menyedihkan ini dan bagaimana cara mereka mengenangnya. Siapa yang salah dan yang benar tak ada yang tahu. Dunia mendadak bisu, alam seketika tuli. Satu kalimat tanya yang lupa mereka tanyakan selama ini, siapa mencintai siapa. Mengapa tak kejar saja selagi bisa. Mengapa hati lara jika tak cinta.

Komentar