Siemens


Siemens

Wiya masih lupa tentang apa alasan orang tuanya memberinya hape waktu umurnya masih 11 tahun. Yang dia tahu, Wiya pernah sekali merengek ingin meminta hape seperti teman kelasnya. Hanya ada satu teman kelasnya yang mempunyai hape waktu itu. Ziya namanya. Ziya mempunyai hape merk Sony Ericsson berwarna dasar putih dan merah. Bentuknya kecil. Sangat pas di tangan Ziya yang mungil.
Ziya kadang membawa hapenya ke sekolah. Sesekali Ziya memainkan hapenya itu saat sedang istirahat, atau ketika jam pulang sekolah di kelas. Teman-teman sekelasnya selalu mengerubuti Ziya yang duduk di barisan paling depan. Wiya, yang kebetulan sebangku dengan Ziya, tidak perlu berebutan tempat hanya untuk melihat akses hape Ziya lebih jauh.
Ziya memencet tombol hapenya itu. Kadang bermain game, melihat inbox pesan, nomor kontak, sampai menu peraturan ia lihat. Semua teman-teman Ziya sangat antusias melihatnya. Matanya berbinar-binar seperti menemukan mainan baru yang mahal dan sangat langka. Begitu kerennya mereka yang mempunyai hape, kata mereka.
“Eh, nanti aku bakal dikasih hape , loh”  celetuk Wiya pada Nina yang saat ini berjalan beriringan keluar sekolah. Sore nanti, hape Wiya akan diantar ke rumahnya.
“Oh, ya? Wuaaahh, asyik kalau gitu, Ya” Nina tertawa riang seperti mengekspresikan kebahagiaan temannya itu.
Deheman dari beberapa temannya yang menangkap angin pembicaraan keduanya sontak menyoroti Wiya.
“Wuah, jadi yang punya hape pertama kali di kelas itu nanti Ziya sama Wiya, ya” celetuk Fatimah yang berlari kecil dari belakang Wiya dan Nina.
“Hahaha”
Semua teman-teman Wiya tertawa bahagia.
***
                Yang Wiya tahu, hanya merk Nokia 3310, Sony Ericsson dan Siemens. Bang Mahmud, yang mengantarkan hape Wiya sore itu, berusaha menjelaskan dengan detail bagaimana cara menggunakan hape barunya kepada Wiya.
                Hape Wiya ber-merk Siemens C4S. Warnanya sedikit biru keunguan gelap dengan lampu layar kuning sedikit orange dan fisiknya yang sedikit gemuk.
                Wiya hanya menyimak penjelasan Bang Mahmud sambil sesekali mempraktekkan langsung di hape barunya itu. Bagaimana cara mengirim pesan, memanggil dan menerima telfon, bermain game dan menyimpan kontak baru.
                Wiya sangat senang sekali mempunyai hape baru untuk pertama kalinya. Setiap datang sekolah, mau tidur, bangun tidur, setelah sholat dan mengaji, yang dia ambil adalah hape-nya. Yang dilakukannya sama saja. Bermain game ular atau timbangan.
***
                Selama mempunyai hape, Wiya menjaga nomer telfonnya dari orang-orang yang tidak dikenal. Kata bapak dan ibunya, Wiya dilarang sms-an atau telfon-an dengan laki-laki. Mereka tidak ingin, Wiya terlibat dalam perbuatan yang biasa orang tua khawatirkan. Berpacaran. Wiya benci dan tidak suka berpacaran. Wiya benci berkenalan dengan laki-laki di usianya yang masih 11 tahun itu. Ya memang siapa juga yang mau menghubungi Wiya yang masih bau kencur dan anak kecil. Wiya hanya sms-an dengan teman-teman sekelasnya.
Mlemzzz… wiya
Mlem jg…
Ge aph
Nyantae aj
Bsk g ad pr kn y?
G ad kq
                Begitu kira-kira gaya kepenulisan Wiya di media ponsel. Wiya belum mengenal kata alay waktu itu. Dia hanya mempraktekkan apa yang dia lihat di beberapa hape orang-orang di sekitarnya.
***
“Halo!” terdengar suara kakak Wiya sedang mengangkat telfon di ruang TV.
“Siapa nih?” lanjutnya.
Wiya yang baru selesai sholat maghrib langsung berlari ke ruang TV. Dilihatnya kakaknya sedang memegang hape Wiya yang menatap Wiya penuh tanya dan langsung mendekatkan hape-nya ke telinga Wiya.
“Halo” suara mungil Wiya menggema di media udara.
Sementara kakak Wiya masih berdiri mematung di hadapan Wiya dengan sorotan mata yang semakin mengintrogasi, penasaran suara siapa di balik telfon itu. Sedari tadi suara di balik telfon itu belum terdengar.
“Siapa?” bisik kakak Wiya.
Wiya mengerucutkan mulut dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak tahu.
“Matiin aja” perintah kakak Wiya.
“Awas ya kalau telfonan sama laki-laki”
Kening Wiya mulai berkeringat. Jujur, dia tidak menghubungi laki-laki manapun. Dia tidak berani melakukan itu. Dia tahu jika kedua orang tua dan kakaknya kalau marah itu seperti apa. Dia tidak mau kena marah.
Ah, ya! Wiya baru ingat. Tadi siang, hapenya sempat dipinjam Mbak Munawarah. Katanya, perempuan itu mau menghubungi salah satu temannya. Tapi Wiya belum tahu, temannya itu laki-laki atau perempuan.
Akhirnya Wiya memilih diam. Enggan menceritakan kejadian itu pada kakaknya.
***
Ne cp?
Jam 10 malam, Wiya belum tidur. Dia bermaksud menghubungi nomer hape tidak dikenal yang tadi menelfonnya itu. Dia ingin memastikan siapa pemilik nomer hape itu. Dengan suasana hati yang takut dan kesal, dia menunggu balasan.
Cowoknya munawarah
Mata Wiya membulat membaca balasan yang baru saja dia terima. Jari-jarinya cepat-cepat mengetikkan sesuatu.
Jgn hubgi no.hp in lgi y. in bukn pux mbk munawarah.
Emg in cp?
Org
Y cp nmanya?
G hrs tw.
Jhat jd org
Biarin
Tak ada lagi balasan dari seberang. Wiya menetralkan suasana hatinya yang sedari tadi takut dan kesal. Takut kalau nomer-nomer hape yang tak dikenal itu menghubunginya lagi dan kesal karena Mbak Munawarah berani-beraninya menghubungi pacarnya lewat hape-nya. Iya, Wiya masih anak seumur jagung jadi semua dianggap enteng.
***
                Wiya bersama mbak sepupunya sedang membeli pulsa di counter dekat rumahnya. Seperti biasa, counter itu dipenuhi oleh kaum pemuda yang nongkrong pada malam hari. Sebagai perempuan, Wiya sudah merasa risih jika harus berhadapan dengan segerombolan pemuda-pemuda itu.
“Pit, dia adekmu?” tanya si penjaga counter sambil sesekali melirik Wiya kecil.
Wiya hanya melihat-lihat sekeliling dalam counter. Ada poster merk dan logo kartu-kartu di mana-mana.
“Iya” jawab mbak sepupunya. Namanya Pipit.
Wiya mengacuhkan obrolan mbaknya itu dengan sibuk memainkan hapenya. Didengarnya mbaknya yang ketawa cekikikan bersama penjaga counternya itu. Wiya semakin risih.
“Mbak, ayo pulang”
                Sesampainya di kamar Wiya. Nada dering hape Wiya berbunyi. Satu pesan diterima.
Met malems…
Tubuh Wiya menegang. Siapa lagi ini, batinnya.
In cp? Jgn hubgi nomr in.
Begitu balasan Wiya. Tiba-tiba, nomer yang tadi mengirim pesan itu menelponnya.
“Heh, ini siapa?” sahut Wiya.
Suara diseberang malah tertawa.
“Ini tadi yang di counter. Tenang dek. Gak bakal diapa-apain”
“Jangan telfon nomer ini lagi ya” ketus Wiya.
“Hahaha, iya iya iya”
Sambungan terputus.
                Wiya lagi-lagi merutuki penjaga counter itu. Bagaimana bisa dia melakukan hal usil dengan mencuri nomer hape di buku pulsa dan mengajaknya sms-an. Benar-benar menyebalkan. Sejak saat itu, Wiya tidak mau mengisi pulsa di counter itu lagi. Dan sejak saat  itu pula, Wiya selalu sembunyi-sembunyi kalau sedang menerima telfon dari orang yang tidak dikenal. Dia takut kepergok orang tuanya yang dikiranya pacar-pacaran padahal  sedang memarahi orang yang di seberang. Bahkan, nada dering hape Wiya sering dalam posisi diam. Katanya, biar tidak ada yang tahu semisal nanti tiba-tiba ada sms atau telfon dari orang iseng lagi.
Akibat perbuatannya itu, orang tua Wiya juga memarahinya. Untuk apa punya hape tapi jika ada panggilan atau sms dari orang-orang saja sering kecolongan karena nada deringnya yang didiamkan. Akhirnya, orang tua Wiya selalu curiga terhadapnya.
Siemens-nya Wiya buat Wiya galau.
               


Komentar