Cerita I - Neffex

Renara POV

Katanya, setiap orang mempunyai kesukaannya masing-masing. Mereka punya hobi, aktivitas atau sesuatu yang menjadi objek ketertarikan mereka sehingga ketika mereka melakukan itu semua sampai merasa lelah pun, mereka akan tetap senang. Mereka tetap bahagia. Mereka bisa merasa puas.

Dan berbahagialah mereka yang telah menemukan apa yang mereka suka, lebih-lebih apa yang mereka ingin, terlepas itu karena lingkungan atau dari jiwa dan diri mereka sendiri. Bahkan mereka yang telah menemukan jati dan integritas dirinya masing-masing.

But...

Beberapa artikel hingga workshop mengenai anak muda yang ditampilkan lewat media sedikit membuka kaca mataku.

- 12 Hal yang Dirasakan Orang di Umur 20-an
- 6 Karakter yang Perlu Diketahui Kamu yang Berumur 20-an
- What is About 20-Somethings?
- It is Generally Said That The 20s age is The Most Difficult Phase
- What is Adulthood Stage?

dan masih banyak artikel lainnya untuk membahas fase-fase kehidupan seseorang berdasarkan umur mereka. Terutama umur 20-an, which is related with me, 23 tahun.

Katanya, di fase ini adalah saat-saat kamu bingung akan masa depan. Kamu bingung karena telah melewati banyak hal tapi masih merasa begitu-begitu aja. Kamu merasa apa yang telah kamu alami sampai sejauh ini masih belum bisa membuatmu cukup baik hingga merasa seperti newbie di antara orang-orang lain. Kamu merasa mengalami banyak tekanan dari keluarga dan keadaan sekitar padahal seharusnya kamu sudah terbiasa akan hal itu. Bahkan mungkin kamu juga merasa bahwa kamu terlalu sibuk dengan urusan kamu sendiri hingga melupakan orang-orang di sekitarmu. 

And I laugh anxiously karena for the last few days, I've felt confused. I've been confused by the existence of myself. I have not known what I have to do when others already have their own way. 

Renara, berhenti memikirkan hal-hal yang nggak penting!.

Hhhhh...

Ren, come on! stop taking place for your thoughts tonight.

Aku memejamkan mata sejenak lalu menarik nafas pelan hingga mulutku sedikit terbuka. Membiarkan pikiran-pikiranku itu pergi yang sebenarnya sering datang tanpa permisi. Setelahnya aku melirik sebuah tiket konser yang dua minggu lalu ku beli lewat sebuah akun fanbase di instagram. Tiket konser Neffex Band yang bertempat di The Venue Concert Hall yang berada di kawasan Eldorado Sport, di utara Bandung, yang akan dilaksanakan hari ini mulai pukul 6 sore.

Layar telefonku masih menunjukkan pukul 5:20 WIB tapi setengah jam yang lalu Akbar mengirimkan pesan lewat whastapp bahwa dia batal ikut nonton konser bersamaku karena tiba-tiba ada urusan dengan Mamanya.

Akbar adalah temanku. Kita cukup dekat sebagai teman, untuk melewati hari-hari santai bahkan berbagi cerita keluh kesah seputar kesibukan pribadi dan pekerjaan.  Aku sengaja membeli dua tiket karena aku tahu, kita sama-sama menyukai musik meskipun genre kita sedikit berbeda. Akbar lebih  menyukai musik indie, sementara aku musik bertemakan Pop atau Hip-Hop.

Dan Neffex Band, adalah salah satu grup musik yang baru aku tahu beberapa bulan yang lalu. I love the Grateful lyric which is the first song of theirs that I listened from SounCloud page.

Mungkin memang waktunya aku pergi ke Eldorado sendiri. And it's fine for me. Karena di konser sebelumnya, tepatnya konser musik The Feast yang berlokasi di Bale Asri Pusdai, aku pun juga datang sendiri.

🔖

Yasa POV

"Serius?"

"Iya, Sa"

"Hehe. Oke, deh"

I don't like music. I live in it. Merupakan salah satu motto hidup gue yang berani gue tulis di bio sosial media akun pribadi. Semasa SD, gue pernah ikut lomba di ajang pameran musik. Gue lupa nama pamerannya apa, tapi yang jelas semua kalangan baik itu dari anak-anak hingga yang tua bisa bergabung dan ikut memeriahkan pameran itu.

Waktu itu gue pernah bilang sama Mama, "Mama, Yasa mau gitar" hanya karena sebelumnya gue pernah lihat seorang pengamen di bus sewaktu gue dan Paman pergi menuju Jogja karena sebuah acara keluarga, yang pengamen itu bernyanyi sambil memainkan gitarnya dan berdiri di antara semua penumpang yang duduk. Lagu yang dia nyanyikan adalah Benci Bilang Cinta milik Radja.

Lalu Mama dan Papa akhirnya membelikan gue sebuah gitar mini akustik. Dan gue mulai belajar memetiknya melalui seorang tutor musik yang Papa carikan buat gue. Di ajang lomba musik pertama yang gue ikuti, gue masuk di 10 besar terbaik dari 30 peserta. Selain gitar, gue juga menyukai drum. Dan untuk pertama kalinya, di saat gue umur 7 tahun, di saat gue bisa memainkan gitar dan drum, gue senang. Gue merasa bahagia seakan-akan gue menemukan apa yang gue suka tanpa harus jadi beban dulu karena nggak bisa.

Dan malam ini. Gue berada di konser Neffex Band. Grup Band asal Amerika Serikat yang untuk kedua kalinya mengadakan konser di Indonesia setelah sebelumnya berlokasi di Jakarta. Gue tau, penonton akan seriuh dan sepadat ini karena ya siapa sih yang nggak kenal Neffex. Lagunya yang cukup agresif dengan lirik experiencing and motivating people to chase their dreams itu selalu related sama kehidupan kaula muda. Terlepas generasi milineal yang suka sama lagu galau-galau dan romantis, sih.

Kayak Akbar.

Temen gue yang ngasih tiket konser Neffex-nya ke gue malam ini. Teman dari semasa SMA sampai sekarang. Temen yang akhirnya mau gue ajak bergabung di sebuah grup band sewaktu kuliah karena gue butuh satu personil lagi untuk menjadikan The ProjectList lengkap setelah ada gue, Tito, Angga dan Mamat. Dan band kita sampai saat ini masih eksis walaupun masih secara lokal. Kita punya agenda sendiri untuk manggung di beberapa lokasi atau hanya sekedar jadi tamu undangan di acara alumni kampus dan jurusan. Tapi apresiasi dari beberapa teman, kakak tingkat, sampai orang lain yang mungkin baru kenal akan keberadaan kita cukup baik dan mengesankan.

Walaupun pada dasarnya. Gue bikin band bukan untuk menunggu apresiasi orang lain. Tapi cuma do what I want to do, do what I like to do, and do what I love to do.

Gue memilih lokasi di baris belakang di antara barisan penonton lainnya. Gue males untuk menyusuri barisan yang lebih depan karena terlihat cukup padat walaupun sebenarnya gue lebih suka berada di barisan pertama lalu ikut bersorai bersamaan suara sound system yang keras membahana.

Lagu dengan judul Fight Back dibawakan Neffex sebagai lagu ketiga yang semakin menambah keseruan penggila musik rap dengan kombinasi rock. Dentuman drum dan gitar elektrik dengan lampu latar yang menyoroti Brandon dan DJ Cam Wales hingga penonton membuat Eldorado bergetar malam ini.

Gue suka suasana ini.

🔖

Renara POV

Biasanya aku cenderung memilih barisan paling belakang  atau paling ujung sewaktu nonton konser. Selain karena aku parno sama penonton-penonton yang sering suka saling mendorong, aku juga lebih mudah pergi untuk pulang selesainya konser tanpa harus desak-desakan dengan orang lain.

Dengan pergi ke konser musik, aku bisa menikmati musik secara lebih hidup. Lagu yang dibawakan sang penyanyi, musik yang diiringi oleh pemain instrumen, sorak sorai dan lambaian tangan penonton seakan memberi kesan lega dan arti kebebasan yang diekspresikan oleh orang-orang.

Lalu pada akhirnya aku diam.

Diam menikmati alunan musik yang sedang bergema tanpa harus ikut-ikutan berteriak histeris karena terlalu asyik bernyanyi bersama sang penyanyi.

Tapi tunggu.

Mungkin karena aku lebih suka berada di barisan belakang, bukan berarti aku nyaman saat pandanganku terhalangi oleh penonton lain. Sosok cowok yang tiba-tiba baru saja datang ini, berdiri tepat di depanku. Seharusnya aku nggak merasa apa-apa sih, tapi kali ini dia mengganggu pandangaku banget. Postur tubuhnya yang tinggi dengan badan yang ditutupi hodie kebesaran dan celana jeans selutut serta topi hitam di kepalanya itu membuat aku nggak bisa melihat keadaan stage sama sekali.

"Mas"

Aku coba memanggilnya untuk sedikit bergeser beberapa langkah.

"Mas, haloo"

Tapi sepertinya dia sama sekali nggak mendengar suaraku karena ternyata suara musik yang menggema benar-benar sangat keras. Sampai akhirnya aku maju selangkah dan menarik ujung lengan hodienya dua kali sambil berkata,"Mas, minggiran dong"

Dia kemudian menoleh dengan sedikit kaget serta matanya yang membulat dan mulutnya yang sedikit terbuka. "O-oh? I-iya iya. Sori sori... Lah?"

Untuk beberapa saat dia masih menatapku tanpa mengalihkan pandangannya ke depan stage lagi. Begitu pun aku. Kini mataku yang juga sedikit terbuka lebar dengan spasi kedipan yang cenderung melambat setelah melihat siapa sosok tinggi menjulang mirip tiang di depanku ini.

"Lo?"

"Kamu?"

"Kalau nggak salah temennya Akbar, kan?" tanyanya sedikit ragu.

"Iya"

Entah kenapa keadaan bikin suasana jadi mendadak kaku. Aku bukan tipe orang yang gampang mengalir sewaktu bertemu dengan orang baru. Aku tiba-tiba bisa saja menjadi orang yang pendiam dan dingin cuma karena nggak tahu harus berinteraksi bagaimana dengan mereka. Apalagi sama cowok. Kayak dia.

"Lo sendirian?"

"Iya"

"Serius?" sisi bibirnya setengah terangkat seperti tersenyum heran tapi melihatnya jadi cukup mengesalkan. Kayak mengartikan bahwa Really? There is a girl who came to the concert with herself?

"Iya" Aku mengalihkan perhatianku ke panggung.

"Owww" katanya manggut-mangggut mengikuti arah pandanganku setelahnya.

Aku lupa namanya siapa. Tapi waktu itu kita pernah ketemu di cafe dekat kampus sewaktu aku menemui Akbar untuk berbicara mengenai sesuatu hal. Aku hanya melihatnya sekilas karena dia sibuk ngobrol dengan teman-teman Akbar yang lain.

Dan sepertinya dia juga datang ke konser sendiri malam ini. Lalu akhirnya dia merubah posisinya berdiri menjadi sejajar denganku. Dan di antara keramaian dan kerumunan penonton, aku cuma bisa bilang ke diri aku sendiri, "Malam ini, kamu datang ke konser nggak sendiri, Ren. Tapi malah ketemu sama orang baru. Temennya Akbar".

◉◉◉

Pukul 11 malam. Aku masih bisa pulang menggunakan ojek online selain aku cenderung merasa tidak nyaman untuk pulang bersama orang yang baru aku kenal. Baru saja dia menawariku untuk mengantarku pulang. Aku tahu dia teman Akbar tapi aku belum tahu dia orangnya seperti apa. Kalau misal aku di-apa-apain gimana, dong? Kamu mau tanggung jawab?

"Aku pulang naik ojek aja" jawabku tersenyum tipis lalu membuka aplikasi ojek di telefonku.

"Yakin, nih?"

"Iya. Yakin"

"Oh. Oke"

Sambil aku membuka aplikasi ojek, aku tahu bahwa dia masih belum beranjak dari tempat dia berdiri. Karena tiba-tiba ponsel dia berbunyi lalu dia mengangkat telefon yang entah itu dari siapa.

"Iya, Bar?"

Hah? itu Akbar, bukan?

"Iya. Ini udah mau pulang sih"

"Iya tahu"

"Tadi nggak sengaja ketemu. Sama gue sekarang"

Lalu tiba-tiba dia mengulurkan telefonnya ke arahku dan sesaat kemudian suara Akbar di seberang sana terdengar. "Ren, sumpah gue baru inget habis acara Mama tadi kalo lo pasti ke konser, ya. Lo pulang bareng Yasa aja, ya. Dia temen band gue yang waktu itu lo juga ketemu di Cafe dekat kampus"

Oh, namanya Yasa. Temen satu grup band Akbar ternyata.

"Oh... oke kalau gitu" Sebenarnya aku pengen nolak, cuma masa nolak di depan orangnya ya. Kan jadinya nggak enak.

Aku memberikan telefonnya lagi. Lalu dia mengedikkan bahunya menyuruh aku untuk mengikutinya menuju mobilnya di parkiran. So, kalau bukan karena Akbar, I won't to go home with him dan lebih memilih ojek online buat pulang.

🔖

Yasa POV

"Rumah lo di mana?"

Gue udah mirip driver online nih kayaknya.

"Di Dago Asri"

Ooh... nggak jauh-jauh juga sih sebenarnya dari tempat gue. Gue kira bakal nyebrang kabupaten. Awas aja noh Akbar.

Sebenarnya tadi gue ragu untuk menawarinya pulang bareng. Gue lihat ekspresi wajahnya terlalu serius hingga takut gue bikin dia nggak nyaman. Makanya gue nggak begitu maksa dia dengan bilang- bahaya loh pulang sendiri bareng ojek online malam-malam- nanti gue dikira modus lagi. Apa dia emang seserius itu ya orangnya? Di tempat konser dia juga nggak ngomong apa-apa kecuali gue yang ngajakin ngomong duluan. Ekspresinya terlalu dingin buat cewek yang berpenampilan cukup feminim kayak dia. Baju motif bunga-bunga kecil dengan warna dasar putih, celana dengan potongan lurus yang memperlihatkan kedua mata kakinya, dan sandal yang ada tali-talinya di bagian tumitnya.

Bentar-bentar, Did I described a woman's outfit completely enough?

Wow, Yasa Yasa.

"Kalau kamu di mana? Aku takut kamu nganterin aku kejauhan" Eh ternyata dia bisa ngomong panjang juga.

"Oh-gue? Gue di daerah Dipati Ukur. Nggak jauh-jauh amat, kok. Santai aja"

"Hah? Itu jauh banget" ekspresinya sekarang berubah jadi terlihat bingung.

Ya ampun.

Itu cuma sekitar 20 menit kali.

"Nggak kok"

"Kamu nggak apa-apa nganterin aku pulang sampai ke rumah?"

"Iiiyaa... nggak apa-apa"

Sumpah. Gue jadi gemes nih lama-lama.

Dia sepertinya merasa risih buat bergaul dengan orang baru. Terlihat dari sewaktu Akbar menyuruh dia pulang bareng gue tapi raut mukanya antara ragu dan nggak. Mungkin dia mau karena terpaksa kali ya. Atau karena Akbar yang nyuruh? Duh, kenapa pikiran gue kemana-mana gini dah.  Mau dia mau lo anter pulang, kek, dia nggak mau, kek. Apa urusannya sama lo, Yas.

Gue mencoba memutar playlist spotify gue dan menyambungkannya ke audio mobil. Terlepas gue terbiasa nyetir sambil dengerin musik, gue nggak mau suasana di mobil jadi terlihat kaku karena keberadaan cewek yang baru gue kenal. Gue nggak suka suasana-suasana gitu.

"Nama lo tadi Re-nara, kan?" tanya gue cari bahan obrolan.

"Iya" jawabnya.

"Temenan sama Akbar udah lama?"

"Iya"

"Oh..."

Lama-lama ini jadi kayak sesi wawancara ya. Cewek ini kayaknya emang irit ngomong deh kayaknya. Asli.

Tapi tiba-tiba, sampai suaranya dengan nada yang lain gue dengar.

"Halo, Pa"

Oh, dia nelfon ternyata.

"Hahaaaa iyaaa, Nara barusan ke konser Neffex. Ih seru bangeeeet. Papa Mama sehat?"

Bentar-bentar ....

Ini beneran dianya ketawa?

Gue kira cuma bisa ngomong -iya-iya.

"Hahaaa. Iya, Pa. Senin besok mulai kerja laagi deh."

Sampai akhirnya gue cuma meliriknya dari ujung mata akan gerakan tubuhnya yang sedikit-sedikit tertawa, setelahnya cemberut kemudian tertawa lagi.

Lalu ketika gue memberhentikan laju kemudi gue di perempatan lampu merah, tiba-tiba gue jadi tersenyum tipis karena tingkah seorang cewek asing yang berada di kursi penumpang mobil gue saat ini.

She's cute.

"Hehe, maaf ya. Barusan Papa nelfon" katanya tiba-tiba.

"Oh... santai aja..."

"Playlist kamu bagus-bagus"

Apa katanya barusan? Tumben ngajak ngomong balik.

"Hah? Playlist gue?"

"Iya. Suka lagu-lagu Lauv juga, ya?"

"He-eh. Lauv, Lewis Capaldi, Travie, Leanne La Havas, sampai Soulscape gue suka. Kalo lo suka lagu apa?"

Gue memberanikan diri buat bertanya balik karena sepertinya wajahnya nggak menunjukkan ekspresi untuk menjawab pertanyaan dengan cuma-iya- lagi.

"Daft Punk yang Something About Us sama Sasha Sloan yang Older, sama musik-musik yang agak nge-beat sih. Kayak Neffex tadi"

Awalnya gue cuma sekedar ngobrol biasa. Tapi gue tiba-tiba merasa pengen ngobrol lebih jauh lagi mengingat biasanya saat ngomongin musik orang-orang di sekitar gue malah sukanya sama yang melow-melow. Apalagi selera musik gue katanya nggak jelas banget. Jadi gue berasa nemuin temen se-selera musik aja gitu.

Dan entah kenapa, bikin gue ngerasa, seneng?

"Suka lagunya karena nada apa lirik?"

Biasanya orang-orang suka musik karena nadanya yang pertama. Baru yang kedua liriknya. Dan yang ketiga sama penyanyinya.

Sebelum menjawab dia tersenyum,"Ya liriknya lah. Apalagi yang Neffex, yang judulnya Fight Back"

"Oh, ya? Lo suka lagu itu? Masa sih? Biasanya cewek nggak suka lagu-lagu bernuansa sedikit remix gitu"

"Biasanya cewek suka yang galau-galau gitu? Haha nggak juga kok"

Oke. Ini cewek mulai sedikit menarik.

"Lirik bagian mana yang lo suka?"

"You really think you're different
Man, you must be kidding
Think your gonna hit it
But you just don't get it"

Wow. Cukup hebat untuk sekedar menyebut sebuah lirik lagu berbahasa inggris tanpa harus berpikir lebih lama.

"Mungkin liriknya nggak begitu puitis, tapi bagus dan ngena apalagi pas dengerin lagu itu waktu kita di posisi down."

"Oh - ya?" gue sedikit kaget. Karena dia menjawabnya melebihi ekspektasi gue.

"Fight back" katanya.

Dia mengatakan hal itu seakan benar-benar terlihat jujur. Awalnya gue menyangka bahwa dia akan cenderung tertutup lebih-lebih membahas kesukaan genre musik kita. Tapi ternyata nggak. Sampai ada suasana dalam pikiran gue untuk ngobrol lebih jauh lagi bareng dia. Di saat gue cuma bisa ngobrolin musik dari sisi genrenya, gue bisa ngobrol bareng dia dari sisi yang lain.

Sisi yang jauh lebih berbeda.

Lebih mendalam, mungkin.

Sampai akhirnya kita sampai di depan sebuah rumah berpagar putih dengan lampu kuning yang tergantung di teras rumahnya.

Sampai akhirnya dia membuka seatbelt yang melingkar di pinggangnya lalu membuka pintu mobil setelah sebelumnya berkata,"Makasih, ya. Maaf ngerepotin" sambil tersenyum ramah.

Dan gue baru saja inget untuk menjawab rasa terimakasihnya dengan "Sama-Sama, Nara" setelah sosoknya menghilang di balik pintu rumahnya.

Lalu.

Sepi lagi.

Hanya ada alunan musik jazz dari playlist gue setelahnya yang menemani gue pulang ke Jl. Dipati Ukur tepat jam 11.40 malam hari.


👋to be continued...



Komentar