Adulting

 Cara aku menikmati hidup waktu 10 tahun yang lalu, kira-kira bisa dideksripsikan lewat gambar ini.

koleksi pribadi

No chill, no drama, full with humor and laugh, aku bisa jadi seseorang yang sopan dan serius, tapi juga petakilan, sering ngakak, random dan absurd.

Aku yang ritmenya straight forward dan polos tapi mendapatkan apresiasi secara simbolis atas capaianku di masa lalu, membuatku tidak mengkhawatirkan akan masa depan.

Dan seakan-akan segalanya telah dipasang secara terstruktur. Aku hanya perlu mendapatkan nilai sekian untuk bisa lulus MI, lalu MTs, dan kemudian MA. Tidak ada pertanyaan panjang yang mengharuskanku untuk berpikir lebih mendalam. Tidak ada tanggungjawab lebih yang mengharuskanku membuat keputusan dan menanggung resiko yang besar.

Sampai akhirnya, aku mengalami transisi adulting dengan seiring waktu. Di saat sekolah telah usai, saat aku benar-benar telah menjalani satu dua hingga empat tahun di bangku perkuliahan, pertanyaan itu datang.

"Apa benar ini yang aku inginkan selama ini?"

Lalu aku bisa menangis di ujung telfon suatu malam  sewaktu curhat pada teman.

"Aku kok ngerasa useless ya. Yang lain sudah sampai di sini, aku masih sibuk mikirin tugas-tugas dan belum menghasilkan apa-apa"

Aku bisa berbicara pada diri sendiri selama perjalanan pulang kampung di mobil travel.

"Kira-kira orang tuaku bangga nggak ya anaknya begini? I think they are very sooo nice. They always understand my decisions in the whole situations, but me, won't understand what they want yet".

Dan satu demi satu keputusan yang datang tanpa ruang struktur pun harus aku bisa ambil.

Dan setiap keputusan pasti memiliki resikonya masing-masing.

And this is why adulting is so hard, maybe? Karena manusia pasti punya banyak keinginan tapi mereka juga ragu untuk menanggung resiko yang lebih besar.

And for during this time, I am veeery amazed for people who can survive beyonds their decisions but still feel blessed and thankfull with their life.

And me here, still surviving with my any decisions.