Aku menahan segalanya pada bulan ini. Layaknya seorang pembohong
yang bersembunyi di balik kejujuran, pelacur yang mengumpat di balik kerudung,
dan pencuri yang memantapkan hati di balik peci. Aku menahan bukan hanya
sekedar menelan ludah karena kehausan, tapi bagaimana agar pikiran-pikiran yang
seperti membuat aliran darah hati menggumpal ini sedikit demi sedikit lenyap
dan aliran darah hati kembali menjadi lancar. Dan senja pada kali ini, telah
aku cetak lalu ku gantungkan di dinding kamarku, sebagai bayang-bayang bahwa
Tuhan itu ada dimana-mana. Bahwa senja bulan ini berbeda dari bulan-bulan
lainnya.
Ada apa dengan
bulan ini?. Ya, mereka menyebutnya sebagai bulan berkah, suci atau apalah yang
mengandung kebaikan dan semacamnya. Bahwa tidak ada bulan istimewa selain bulan
ini. Aku percaya? Ya, aku percaya. Karena titah guru madrasahku, orang tuaku
dan ibu bapak kyaiku.
“ Farah! . Sudah sholat? Jangan selalu berkutat dengan bukumu.
Urusanmu dengan Allah adalah lebih penting”, kata bapak tiba-tiba datang sambil
menyingkap horden kamarku. Senyumnya yang khas, membuatku tetap selalu tenang
pertanda dia tidak sedang marah. Marah karena aku sibuk dengan duniaku. Gadget
dan deary.
“ Oh! Iya, pak. Hehe. Pasti!”, jawabku dengan sedikit rasa malu
bahwa aku telah dewasa dengan umurku yang 20 tahun ini yang rasanya sangatlah
tidak pantas jika urusan ibadahpun masih selalu diingatkkan.
Ku tutup deary
mungilku, lekas-lekas aku menuju kamar mandi, berwudhu’ dengan maksud hati yang
ikhlas. Sekembalinya, aku melihat dia telah di kamarnya yang tepat bersebelahan
denganku. Dia adalah kakakku, sedang melakukan ritual yang biasa seorang muslim
lakukan secara rutin saat adzan telah dikumandangkan. Aku merasa senang, hatiku
lega, pikiranku enteng. Akhir-akhir ini, kakak sudah mulai rutin beribadah
sholat. Karena terkadang dia lupa, malas, atau bahkan mungkin merasa tidak ingin
melakukannya. Ini karena penyakit saraf otak yang dideritanya, sehingga dia
tidak bisa melanjutkan kuliahnya selama 6 tahun terakhir. Terkadang, aku
sendiri merasa ingin mati karena amukannya yang menyeramkan, trauma melihat dia
diikat oleh tali di kedua kaki dan tangannya, karena memukul-mukul sendiri
kepala dan dadanya. Kedua orang tuaku sudah
semakin tua untuk mengurusi hal
semacam ini. Seharusnya mereka sedang menikmati indahnya mempunyai seorang cucu
dari anak pertamanya, telah memajang foto wisuda anaknya yang selalu
diidam-idamkannya selama ini. Begitu, bukan? Harapan semua orang tua jika
anaknya sudah melalui pendidikan tinggi.
Aku memakai
mukenaku. Ku mulai sholat Maghrib-ku ini dengan basmalah. Bahwa hanya
ada aku dan Tuhan saat ini pula. Aku tidak paham, apakah aku termasuk orang
yang khusyu’ atau tidak. Karena di sela-sela aku mengucapkan kalimat do’a
sholat, aku seperti memohon pada Tuhan, meminta dan memaksa bahwa kakakku harus sembuh, kakakku tidak boleh
sakit, dan aku tidak ingin melihat ibuku menangis lagi. Hah! Aku tak ambil
pusing. Bagaimana bisa aku menahannya. Sama seperti kemarin. Seketika itu juga,
aku meneteskan air mata. Aku menahan ingus di sela sholatku, sehingga ibu yang
sedang mengaji di sebelahku tidak sadar bahwa aku menangis. Aku sudah biasa
menyembunyikan hal semacam ini darinya. Bukan berarti aku tidak ingin menjadikan
ibuku sebagai teman curhatku, bahwa aku sedang sedih meratapi nasib hidup
keluarga yang tak kunjung berhenti dari cobaan lalu menahan tangisan sendiri.
Tapi untuk masalah kakak, aku sedikit lebih merahasiakan diri bahwa aku juga
menangis sederas air mata ibuku.
Aku menghapus air
mataku, meratakannya disekitar permukaan mata agar cepat mengering. Ku ambil
Al-qur’an jadul-ku di atas lemari yang telah pecah kacanya lalu tergantikan
kertas kado berwarna biru dengan gambar boneka untuk menutupi baju-baju di
dalamnya. Aku biasa membaca Al-qur’an tanpa suara. Hanya sekedar mimikan dari
mulutku. Pita suaraku lama-lama terasa sakit jika aku membaca dengan suara,
lalu kepalaku akan sedikit pusing dalam waktu yang lama. Aku semangat mengaji,
karena perkataan ustadzku sewaktu Aliyah dulu. Bahwa segala urusan akan selalu
dimudahkan oleh Allah jika aku istiqamah dalam mengaji.
Ya. Senja ini aku
membuatnya berbeda. Mega merah yang biasa ku nikmati tiduran bergelintangan
sambil mendengarkan alunan music Demi Lovato, David Guetta dan lagu mancanegara
lainnya, ku ganti dengan bacaan ayat-ayat ini. Dan hal ini, takkan ku ganti
lagi dengan suatu hal yang tidak bermakna lainnya. Semoga saja pikiran dan
hatiku menyetujuinya.
Ku dengar adzan
Isya’ telah berkumandang. Saatnya melakukan ritual untuk kedua kalinya dari
yang lima. Tapi kali ini berbeda. Aku melakukannya di tempat yang lebih jauh
dan lebih mulia. Masjid pesantren sekitar rumahku, ku tempatkan untuk sholat Isya’
berjama’ah sekaligus sholat tarawih di sana. Terkadang aku berangkat bersama
adek sepupuku, karena ibuku sering kelelahan dan tidak kuat untuk sholat yang
ke 23 raka’at itu. Aku hanya ingin berperan sebagai anak yang mengabdi. Anak
perempuan yang tidak hanya pintar berdandan memulas lipstick, tapi rajin
beribadah dan ber-image baik di mata masyarakat. Sesampainya di Masjid, iqomah
sesaat telah berlalu. Ku ampar sajadah mungilku karena aku memang tidak suka
yang terlalu besar, lalu ku ikuti suara takbir sang imam sebagai awal ritualku.
“Allahu akbar…”,
suara sang imam terdengar parau, terlihat seperti seorang yang telah sepuh
berumur 60an. Suaranya menyentuh batinku, seketika itu juga aku merasa malu.
Suara bapakku. Alhamdulillah, beliau telah menjadi imam kesekian kalinya
walaupun hanya sebagai pengganti sang kyai. Aku malu, karena aku merasa bukan
putri yang apa apa untuk dirinya. Dirinya yang terlihat sebagai tokoh
masayarakat, tapi aku sendiri saja jarang berkecimpung dengan masyarakat.
Akhirnya aku lalui sholatku 23 rokaat dengan tanpa sepatah katapun. Hanya
lirihan dzikir yang ku panjatkan malam ini, untuk kakak, keluarga dan aku.
Setengah bulan aku
menjalani bulan Ramadhan ini. Suasana pagi pedesaan ini masih bersahabat
denganku. Pikiran masih tanpak tenang, tak ada kekhawatiran dalam benakku bahwa
sesuatu hal yang tidak diinginkan bisa-bisa terjadi. Ku perhatikan kakakku yang
tengah memandikan burung kesayangannya. Suatu aktivitas yang kadang dia lakukan
untuk menyapa paginya, selain merokok dan melihat TV. Wajahnya terlihat tenang
tak datar. Ibuku lebih bersyukur jika dia hanya bersiul dengan burungnya, tidur
lelap sehari semalam suntuk, daripada menonton TV dan membaca buku yang akan
membuat otaknya kembali sakit lalu pikirannya acak-acakan. Tapi ini yang
membuatku sakit. Membuatku semakin mengumpat dalam kesedihan bahwa kakakku
tidak sama dengan remaja lainnya. Dan mimpiku bulan ini, adalah membawanya ke
masjid pada saat akhir bulan nanti. Membawanya untuk bertakbir dan sholat Ied,
bertemu dengan kerabat dan sanak saudara dengan berjabat tangan di tengah hiruk
pikuknya orang bermaaf-maafan. Selama enam tahun dia tidak berkunjung ke masjid
walau hanya sekali. Sebuah ketakutan yang luar biasa darinya jika dia berada di
luar rumah, maka pikiran-pikiran yang mungkin datang membuatnya ketakutan lalu
diam dan mengamuk semaunya.
“Lagi ngapain,
Far?”, seketika aku kaget. Bu Sa’ yang tiba-tiba datang menghampiriku dengan
senyum ramahnya. Rumahnya bersebelahan denganku, bekerja sebagai penjual Weci
yang dia asokkan di koperasi-koperasi dekat sekolahan.
“Eh, Bu Sa’. Nggak
ada, bu. Cuma duduk-duduk saja”, jawabku dengan senyum pula. Seperti tak ada
hal yang aku pikirkan.
“Kakakkmu puasa
kan?”, tanyanya kemudian.
“Iya, Bu’”,
jawabku.
“ Syukurlah. Kakakkmu,
sudah baikan ya sekarang. Ndak kayak’ pas waktu kamu dulu masih masuk kampus,
Far. Tangan dan kakinya diikat. Kasihan. Kamu yang sabar, ya. Sekarang liburan,
kan kamu?. Yaaa, untung kamu bisa pulang. Bisa bantu ibumu di rumah.
Masak-masak, korah-korah, nyapu. Kalau ndak ada kamu, siapa lagi Far. Kamu
mungkin akan jadi pengganti kakakkmu. Berjuang untuk mencari uang buat orang
tuamu nanti ke depannya. Seharusnya dia yang sedang membimbingmu kuliah saat
ini, memberi semacam semangat untuk adiknya sebagai anak pertama”, kata Bu Sa’
panjang lebar padaku. Wajahnya penuh harapan. Penuh bangga bahwa yang dia tau,
aku adalah anak yang pintar diantara perempuan yang dia kenal. Sejak lama dia
melihatku sering menjadi juara kelas waktu kecil dulu.
Bu Sa’, terkadang aku
bingung dengan jati diriku sendiri, kataku dalam hati.
“Oh, iya Bu’.
Semoga ibu bapak tetap panjang umur, sehat dan kuat. Kakak sembuh dan kembali
seperti semula, Amiin”, jawabku santai dan ramah. Aku pintar sekali berbohong
dari sedihku. Wajah polosku ini tak pernah lepas dari senyuman, dan aku belum
menemukan dia yang bisa membedakan senyuman tulus dan palsuku.
“Ibumu sangat
lega, jika melihat kakakkmu bisa beraktivitas kembali. Yaaa, meskipun hanya
sebatas merokok, bersiul dengan burungnya, dan menonton TV tapi dia juga berani
sekarang untuk keluar rumah. Bercengkrama dengan tetangga dan kemaren, ibu
sempat melihat dia membantu pak Den menanam tembakaunya”, ujar Bu’ Sa’ padaku.
“Iyaa…
Alhamdulillah,Buk”, ujarku tersenyum. Semua orang di sekitarku berharap kakak
akan sembuh secepatnya. Walau itu layaknya menunggu sebuah teka-teki keajaiban yang sudah bertahun-tahun
lamanya diharapkan.
***
Malam ke-27 dari
Ramadhan. Aku sibuk membantu ibuku membuat makanan untuk kita antarkan nantinya
kepada sanak kerabat. Sebuah adat menjelang Idul Fitri untuk saling memberikan
rezeki sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan. Wajah ibu terlihat letih,
keringat dikeningnya membahasi kerudung tongkos-nya yang berwarna hitam.
Sesaat dia mendesah karena tulang punggungnya yang dirasa ngilu, sekali-sekali
dia duduk lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang bambu yang biasa kita
gunakan sebagai tempat makan. Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku bermaksud
mengambil handphone-ku yang ku letakkan di kamar. Ku buka pintu kamar
pelan, sekiranya pintu berderak tidak
terlalu keras karena biasanya kakakku telah terlelap tidur sebelum jam
sembilan.
Tiba-tiba aku
mendengar suara mengerang sembari diikuti lafadz Allah. Kakakku merintih lagi.
Aku ingat apa kata ibu bahwa jika kakak bertingkah seperti ini, penyakitnya
akan kambuh lagi. Dia tidak akan sadar untuk beberapa jam, tidak sadar akan
siapa yang ada didekatnya, matanya memerah, ubun-ubunnya bergerak, wajahnya
pucat penuh dengan keputus asaan. Ahh, aku sudah membayangkan wajahnya
sedemikian rupa. Bagaimana dia menahan rasa sakit di kepalanya dan lain
semacamnya. Pikiran sudah mulai tidak karuan. Ku panggil ibuku, ku beri tau apa
yang ku dengar. Seketika wajah ibuku lusuh, kekhawatiran yang sangat akan anak
pertamanya itu. Takut anaknya akan menderita untuk yang kesekian kalinya.
Segera ibuku menghampiri kakakku. Aku mengikuti di belakangnya dengan perasaan
takut. Jantungku berdetak lebih kencang. Sel darahku seakan bergerak lebih
cepat, syaraf motorikku seakan kaku, kakiku mulai terasa berat menahan beban
tubuhku untu berjalan.
Sesampainya di
kamar, ibu segera mengelus kening kakakku. Suara rintihannya berkurang tapi
suhu tubuhnya mulai tidak bersahabat. Kaki dan tangannya dingin, tubuhnya
panas. Ibu menyelimutinya dan memberinya minyak kayu putih untuk
menghangatkannya. Wajah ibu menatap kakakku. Mengisyaratkan bahwa dia akan
baik-baik saja dan akan tidur lelap malam ini.
Lama aku menemani
ibu, dia menyuruhku tidur terlebih dahulu. Aku senang. Aku memang tidak betah
berada di samping kakakku. Aku akan lebih suka menangis sendiri di tempat
tidurku, meratapi apa yang aku sedihkan malam ini. Ku turuti perintahnya dan
berjalan menuju kamar lalu merebahkan tubuhku. Air mataku mulai menetes,
tetesan pertama, kedua, lalu deras hingga bantalku terasa basah akan air mata. Do’a
batinku mulai terucap :
Allah, saat ini aku menangis …
Aku tidak menghitung ini ke berapa kalinya, tapi yang pasti Engkau
Maha Tau
Aku menangis bukan karena bahagia
Tapi ini kesedihan yang aku tahan selama bertahun-tahun, tangis
yang aku sembunyikan dari ibu bapakku
Kakakku, begitu lagikah? Sampai kapan …
Mereka menua seiring musibah dan mereka tersenyum lega saat kakakku
tersenyum pula
Sembuhkan kakak hamba ya Allah, teka-teki waktu hanya bisa ku
tunggu kapan dia akan sembuh …
Mata mereka penuh harapan, ini hanya tidak menjerit sekeras
sangkakala untuk memohon kepada-Mu
Izinkan kami tersenyum tanpa kekhawatiran
Tersadar air mataku semakin tumpah. Maafkan aku, Tuhan. Ini isi
hati seorang tentang pemaksaan dan
aduan. Tapi bukan aku tidak sabar. Bukan aku menganggap diriku adalah seorang
yang paling malang. Ini karena kejenuhan yang sudah memuncak karena ketakutan
dan kehawatiran.
***
Ramainya malam ini
bukan karena senda gurau dan canda tawa. Tapi petasan dan alunan takbir hari
raya dari suara cempreng anak-anak di masjid-masjid sekitar rumahku. Baju yang
akan aku pakai besok, ku setrika dan kugantungkan di pintu kamarku. Kemeja
sederhana yang aku beli sebulan yang lalu. Aku merasa tidak enak hati akan
diriku sendiri. Banyak yang aku belanjakan untuk ku pakai di lebaran tapi tidak
dengan kakakku. Meminta pecipun dia tidak pernah apalagi sarung maupun kemeja.
Dia sempat berkata padaku, bahwa dirinya merasa bersalah karena sampai sekarang
dia belum sembuh dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk dirinya dan keluarga.
Jadi buat apa baju baru untuk dirinya.
Takbir malam ini aku anggap
sama dengan malam satu tahun yang lalu.. Impianku untuk bersama kakak ke masjid
tak tercapai lagi. Sedari siang hingga malam ini dia tidak berbicara sepatah
katapun. Dia sudah menghabiskan sekian rokok untuk menemani lamunannya. Entah
pikiran kosong apa yang sedang berada di benaknya. Wajahnya mengekspresikan
ketidakpedulian akan hidup. Mungkin hanya dengan rokok dia akan bercakap lalu
terlelap ketika fajar mulai menyingsing.
Dan esoknya kini tiba. Ibuku bersiap saat mata matahari mulai
meninggi dan tanah masih tampak remang untuk pergi mengantarkan makanan ke ibu
Nyai di pesantren yang nantinya dilanjutkan sholat Ied bersama. Akupun
bersiap-siap untuk menyiapkan jamuan untuk tamu-tamu yang biasanya datang
beberapa saat setelah sholat Ied dilaksanakan. Takbir pagi ini lebih indah dari
yang semalam. Suara merdu dari speaker masjid pesantren membuat tubuhku
sesekali merinding karenanya. Pintu kamar kakakku masih tertutup. Aku tak
berani membukanya hanya untuk membangunkannya.
Tuhan! . Aku belum bisa membawanya untuk menyapamu di tengah
keramaian takbir kali ini. Tetap pada kronologi yang sama, bahwa dia akan
mengurung diri, matanya akan penuh dengan tatapan kosong. Jangan jadikan kamar
pengapnya hanya sebagai tempat dia menahan sakit. Aku akan menahan air mata ini
tumpah lagi, lalu mengalir menetesi mukenaku karena mengadu pada-Mu. Aku bukan
sinterklas, peri, atau malaikat yang mampu membalik semuanya menjadi semauku.
Sesering mungkin ada hal yang aku katakan pada diriku sendiri. Bahwa hidup ini
adalah milik Engkau. Kronologi ini kau buat dengan seindah mungkin. Isak
tangisanku ku jadikan nyanyian sunyi di malam hari sebagai pengantar tidur. Aku
mencari mutiara kehidupan dan senyum ketenangan di atas pasir yang Engkau
bentangkan di atas bumi. Aku pelakon-Mu yang penuh dengan rengekan dan aduan
karena terkadang merasa tidak puas dengan adegan hidup yang dijalani.
Sementara suara
iqomah berkumandang, orang-orang bersama suami maupun istri anaknya segera
berlari menuju masjid untuk sholat Ied bersama. Apa yang bisa aku perbuat. Aku
tinggalkan kakakku sendiri di rumah lalu bergegas menuju Masjid. Di tengah
jalan, orang-orang menanyakan dimana kakakku, kenapa aku sendiri dan
semacamnya. Ku balas mereka dengan senyum dengan langkah yang ku percepat lalu
mengumpat menghilang di antara orang yang tak ku kenal menuju rumah bermenara
bintang dan bulan, menundukkan kepala lalu mulai bercakap dengan Tuhan.
Malang,
2 september 2015
Andawiya stranger ;-)
Aku suka cerpenmu ini. Udah kubaca.
BalasHapuspadahal masih banyak kekurangan :D terima kasih
BalasHapus