Tulisan ini
murni dari pemikiran saya, bukan dari buku atau pustaka. Jadi mungkin ada
hal-hal yang menyimpang, monggo dievaluasi. Wkwkwkwk … :D
Kemarin
pagi, Sabtu, 23 April 2016, saya dan teman saya menghadiri sebuah seminar Halal Food Dialogue yang
diadakan oleh KARISMA Universitas Negeri Malang. Tema besar dialog ini adalah
“Mengkritisi Kehalalan Pangan di Arus Globalisasi”. Dengan pemateri yang sudah
pakar di bidangnya masing-masing, yaitu Prof. Dr. agr. M. Amin, S.Pd. M.Si
(Guru Besar Biologi Universitas Negeri Malang), Dr. Sucipto, STP, MP (Pakar
Pengembangan Agroindustri Halal, Aman, dan Berkualitas), dan Dr. KH. M. Zawawi
Mukhtar (Majelis Ulama Indonesia Cabang Kota Malang).
Pak
Amin membahas seputar bioteknologi dan perkembangannya. Baik dalam bidang
pengobatan, kosmetik, ataupun makanan. Semua hal itu dimaksudkan demi
mempermudah apa-apa yang masyarakat butuhkan. Beberapa senyawa obat-obatan
dapat dikembangkan melalui teknologi seperti ketoprofen dan semacamnya (saya
lupa tidak mencatat macam-macam senyawa tersebut beserta fungsinya). Beliau
menjelaskan pula bahwa makanan tidak hanya berstatus halal tapi juga harus thoyyiban
yang artinya baik bagi kesehatan pengkonsumsi. Saya setuju. Pasti.
Satu
hal yang saya pertanyakan dari paparan baliau. Beliau sempat mencontohkan kurkumin
(senyawa non polar dalam Kunyit) yang biasa diisolasi dan disintesis atau
standarisasi dari kunyit bahwa hal tersebut sebenarnya menyalahi kadar bahan
alam yang sudah ditetapkan –Nya. Buat apa melakukan isolasi dan sintesis, toh
tinggal menggerus kunyit lalu meminumnya itu sudah bisa bahkan hal tersebut
lebih aman dan efektif. Tidak perlu melakukan standarisasi pada suatu bahan
alam, wong itu memang sudah ditetapkan oleh-Nya.
Lalu
apa yang saya pertanyakan. Jelas!. Atas dasar apa beliau memaparkan hal yang
demikian, apakah ada di sumber buku atau pustaka yang bisa dibaca. Sejauh
sepengetahuan saya, sintesis atau isolasi dari bahan alam adalah demi
kemashlahatan bersama. Artinya, mulai dari pembuktian, karakterisasi, atau
pengembangan ilmu pengetahuan. Senyawa apa saja yang terkandung di dalamnya,
ada tidaknya senyawa aktif atau berbahaya, seperti halnya senyawa aktif pada
kulit manggis yang ditemukan dan berfungsi sebagai antikanker toh pastinya
melalui isolasi atau sintesis. Jadi menurut saya, sintesis dan isolasi tidak
sepatutnya harus meranah pada kadar bahan alam yang sudah ditetapkan Tuhan,
pada intinya bergantung pada niat baik tidaknya. Jika masih bermanfaat, kenapa
tidak?.
Tapi
sayangnya, saya tidak sempat bertanya kepada beliau secara langsung karena
beliau izin terlebih dahulu dikarenakan suatu kepentingan. Pertanyaan saya,
saya tulis di kertas dan saya berikan kepada panitia untuk disampaikan kepada
beliau. Semoga saja, terjawab. Aamiiin. J
Berikutnya
adalah pak Sucipto. Karena beliau adalah pakar agroindustri, maka beliau
membahas seputar industri, dominannya makanan bagaimana tetap menjaga kehalalan
suatu produk sehingga aman digunakan oleh masyarakat luas. Penggunaan gelatin
dari babi, darah dan bahan haram lainnya harus di-preventif-kan yang saat ini
memang banyak ditemukan mulai dari pedagang di pinggir jalan hingga industri
besar.
Informasi
dari beliau, yang bersumber dari Thomson Router (saya lupa tahunnya) bahwa
industri besar yang sudah diakui kehalalannya diantaranya China, Turki,
Malaysia. Namun Indonesia sendiri tidak ada. Padahal, penduduk Indonesia
mayoritas adalah muslim. Seorang muslim tentunya sangat memprihatinkan sekali
jika mengacuhkan kehalalan suatu produk, baik itu pangan, sandang dan papan.
Ada
banyak hal yang menjadi sebab kenapa produk halal thayyiban masih minim untuk
dicapai. Diantaranya adalah kebutuhan masyarakat yang banyak, membutuhkan suatu
proses produksi yang cepat tapi bagus. Sehingga
apapun saja yang penting bisa membuat produk tersebut awet atau memenuhi
nilai eksotis tertentu maka bisa digunakan. Seperti halnya yang sekarang marak
dibicarakan dan memang sudah ada yang terbukti (maaf, saya belum mencari hasil
buktiannya, tapi yang ini memang katanya dan insyaAllah saya yakin iya), permen
kenyal yang biasa kita sebut Yuppie mengandung gelatin yang jelas terkandung
dalam babi. Makanya, saya gak mau lagi deh makan permen yuppie. Saya takut.
Hehehe, itu harus dipertanyakan. Ada gelatinnya apa nggak? Hehehe.
Studi
kasus lain yang beliau angkat, adalah Ajinomoto. Sebelumnya sudah mendapatkan
sertifikasi halal dari MUI. Namun, beberapa bulan kemudian, pihak Ajinomoto mengganti
enzim yang digunakan. Kabarnya, enzim tersebut berasal dari mikroba yang
ditumbuhkan pada media babi. Nah, jika demikian apakah sertifikasinya masih
berlaku? Sedangkan benda apapun jika berasal dari yang jelas haram maka akan
haram pula.
Langsung
pemateri yang ketiga ya, pak Zawawi. Nah, disinilah dijelaskannya sebagian
langkah sertifikasi kehalalan suatu produk. Dimana produk tersebut harus sudah
melalui proses seleksi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), baru bisa
ngajuin sertifikat kehalalan. Selain itu, untuk meyakinkan produk tersebut
benar-benar halal atau tidak, maka wajib melakukan sumpah atas Al-qur’an, dan
menyatakan bahwa produk tersebut memang halal. Yaa kalau bohong siiih itu
urusan dia sama Allah ya.
Nah,
dari hasil materi di atas adalah banyak hal yang sudah saya pahami, namun
banyak juga yang ingin saya telusuri. Pertama, makanan seperti apakah yang
seharusnya disertifikasi halal?. Apakah yang diproduksi secara besar-besaran
atau yang sudah ada tanda atau kabar bahwa produk atau makanan itu mengandung
bahan haram. Karena tidak menutup kemungkinan masyarakat akan was-was lalu
tidak ingin memakan makanan yang tidak ada logo halal dari MUI. Es campur kalau
tidak ada logo halalnya tidak mau dimakan, misalnya.
Kedua,
musim MEA yang sudah ditetapkan akhir 2015 kemarin akan memperbanyak
produk-produk yang mungkin akan keluar masuk Indonesia. Pangan, papan, pangan
dan semacamnya. Bagaimana tindakan MUI dalam menjalin hubungan perdagangan
bebas tersebut? Tentunya, setiap barang masuk harus disertifikasi kehalalannya atau
bagaimana? Apa perlu melakukan kerjasama antar negara ASEAN untuk sama-sama
memverifikasi kehalalan suatu produk, namun diantara negara-negara tersebut
pasti ada yang tidak tahu mengenai halal ataupun haram.
Ketiga,
bagaimana hal solutif dan preventif dalam penggunaan bahan haram? Agar tidak
hanya muncul pertanyaan apakah produk itu halal atau tidak. Agar tidak hanya dilakukan pengecekan setelah
produk itu diproduksi tapi juga pencegahan sebelum produk tersebut sampai ke
lapangan.
Keempat,
ada beberapa produk babi tapi bersertifikat halal MUI. Nah, kenapa hal tersebut
bisa terjadi? Apakah iya terjadi pemalsuan? Bagaimana MUI menanggapi hal
tersebut?
Yaaa
itu sekitar unek-unek saya kali ya. Hehe. Tapi lagi-lagi saya belum sempat
bertanya langsung kepada beliau-beliaunya. Pasalnya kesempatan bertanya tidak
jatuh pada saya. Hiks.
Nah,
sekarang jika kita mengubungkannya dengan sains dan teknologi saat ini ya.
Berbagai makanan sudah buaanyak yang bermacam-macam. Sudah dibuat juga alat
pendeteksi makanan halal yang diuji
cobakan di laboratorium. Saya pernah baca, alatnya seperti pencium gitu. Tapi
saya lupa namanya. Hehehe. Bisa di searching kali ya di net :D.
Ini
juga PR besar buat kita-kita. Dari aspek kimia dan biologi bisa lebih jauh
mengetahui perkembangan kehalalan suatu produk. Mungkin dibuatkannya suatu alat
KIT pendeteksi produk secara langsung, bisa juga yang telah dibuat oleh pak
Sucipto alat pendeteksi yang berbasis android. Nah, kan keren tuh. Biar guna Hp
nya gak Cuma bbm-an, whatsapp-an, line-an, tapi bisa juga ngedeteksi makanan
halal atau nggak. Denger-denger siih, seperti memberikan semacam warna tertentu
jika produk tersebut halal atau haram. Waah, subhanallah sekali ya. Tapi
sayangnya, saya belum sempat minta aplikasinya ke bapak Sucipto, keburu duluan,
lafeeer :D.
Jadi
perlu kehati-hatian ya buat kita-kita dalam memilih makanan, halal, sehat, dan
baik juga. Ups, saya jadi teringat sama salah satu audien yang sempat
berpendapat begini : kehati-hatian memang perlu, dia pernah mendengar bahwa air
mineral gelasan yang biasa dijual itu mengandung karbon, akibatnya dia tidak
pernah meminum air mineral. Kemana-mana membawa air putih biasa yang dia rebus
sendiri.
Waaah,
kalau saya nggak segitunya kali ya. Hehehe kalau air, cukup ada logo halal
insyaAllah halal kok. Pasti wes. Apalagi karbon yang dibicarakan. Karbon setahu
saya itu bukan suatu hal yang haram, tapi memang mineral yang terkandung dalam
air itu sendiri. Artinya murni dari air tesebut. Air tidak hanya mengandung H2O
atom hydrogen dan oksigen saja toh, tapi kaya akan mineral-mineral disana yang
memang juga berfungsi sebagai zat pembangun tubuh kita. Getooo. Wallahu ‘a’lam.
Itulah
seputar spekulasi saya mengenai makanan halal masa kini. MUI harus lebih
protektif dan selektif lagi dalam prosesnya mensertifikasi. Perlu adanya
regulasi ulang atau pemantuan bagi pihak-pihak yang sudah tersertifikasi halal.
Buat kita, lagi-lagi perlu berhati-hati tapi tidak sepatutnya harus men-judge
suatu makanan itu haram. Maka perlu ditelusuri terdahulu, mulai dari terdeteksi
BPOM hingga ada tidaknya label halalnya. Selain itu, bagi pelajar atau pakar
teknologi, bidang biologi pangan, kimia pangan misalnya, perlu adanya suatu
inovasi. Baik itu alat pendeteksi, atau penemuan senyawa-senyawa baru yang ajeg
dan halal sebagai pengganti bahan haram yang sudah marak digunakan, yang bisa
dijadikan campuran industri dan berkualitas sama bagusnya.
See next column, we are going to
talk about our phenomenon in our world.
Komentar
Posting Komentar