Entahlah karena
apa, untuk tahun ini aku tidak pulang dan merayakan Idul Adha di rumah. Teman
kuliah dan kosan semua pulang, sementara aku tidak. Dengan alasan yang
sesempurnanya aku utarakan, bahwa aku memang tidak ada inisiatif pulang, karena
beberapa minggu kemarin aku ke Madura dalam rangka takziah. Yah, meski tidak
mampir ke rumahku sendiri tapi aku merasa bolak –balik jika sekarang aku pulang
lagi (ke Madura lagi).
Alasan lainnya
adalah bahwa jarak antara Idul Adha dan Idul Fitri sangat sebentar. Aku merasa
seperti menghabiskan uang transportasi saja jika demikian. Biaya pulang pergi
sekitar 120-150 ribuan. Aku tidak mungkin meminta uang lagi pada Bapakku dengan
waktu 5 hari aku di rumah. Dan menetaplah aku di kosan.
Aku bersama dua
orang temanku. Satu temanku yang dari Bima (Mawar) akan menginap bersama teman
tanah kelahirannya yang lain dan nyate pula. Jadilah untuk malam minggu, aku
hanya berdua dengan temanku yang satunya lagi. Namun kita tidur di kamar
masing-masing sehingga kita hanya sendiri di kamar masing-masing pula. Aku
lebih suka menyendiri sebenarnya. Dalam artian, di kamar tanpa siapapun. Karena aku bebas dalam
melakukan hal apapun. Nyanyi dengan suara sekerasnya, misalnya. Karena aku
merasa bahwa suaraku tidak jelek-jelek amat. Kata temanku, suaraku bagus sih.
Maka aku tidak jarang pula merekam suaraku ketika bernyanyi dengan recorder di
handphoneku. Setelahnya aku dengarkan suara hasil rekamanku lalu bergumam ;
ternyata suaraku begini ya kalau nyanyi. Hahaha … akhirnya tertawa sendiri.
Stress? Kamu bisa bilang iya atau tidak.
Selain itu aku
bisa tidur gelimpangan dengan gaya sesukaku, nonton film tanpa suara berisik,
sampai kentut tanpa ditahan karena malu ada teman. Hal terakhir ini yang sering
aku lakukan. Entahlah kenapa, perutku terlalu sensitif dalam menyumbangkan
banyak gas.
Keesokan harinya
aku bangun tidur seperti biasa. Kali ini lebih pagi. Teman depan kamarku (Lusi)
juga sudah bangun ternyata. Dia selalu lebih pagi, bersih-bersih kamar dan
mencuci pakaiannya dengan rajin. Lain halnya denganku. Selalu malas-malasan
jadi ya bergantung pada situasi dan kondisi perasaan. Apalagi jika sudah bad
mood semua malas aku kerjakan kecuali ibadah 5 waktu, makan dan tidur. Apalagi
jika sampai aku patah hati gegara pacar nantinya?. Bisa-bisa aku seminggu di
kamar.
Bukan mandi pagi
aku malah tiduran di kasur lalu menghidupkan laptopku untuk melanjutkan film yang
ku tonton semalam. Dengan selimut yang masih aku singkapkan ke tubuhku, aku
merasa lebih hangat dan nyaman. Aku jadi teringat bagaimana orang tuaku jika
melihat aktivitasku ini. Mereka akan bertanya padaku,”Oh, jadi begini kerjaanmu
di Malang. Biasa tidur pagi, ya?.” Lalu aku akan bergegas keluar, mandi. Namun
jika kondisinya di kos seperti ini, siapa yang akan berkomentar? Kecuali aku
sendiri yang sadar.
Tiba-tiba Lusi
memanggilku. Dia berpamitan akan pergi ke rumah neneknya. Otomatis aku kaget.
Karena sebelumnya dia yang sepertinya ingin aku menemaninya di kos karena dia
memang tidak mau pulang. Aku tanya baliknya kapan, dia jawab tidak tahu.
Mungkin nanti sore, katanya. Aku mulai rada tidak tenang. Masa iya aku sendiri
di kosan. Rada kesal juga, karena aku ditinggalkan sendirian begini. Tapi ya
sudahlah. Memang berstatus single toh, sudah biasa sendiri.
Tak apa aku
sendiri yang penting aku bisa makan. Maka ku kunjungi Indomart hari itu dan
membeli camilan untuk persiapan besoknya. Karena besok adalah hari lebaran di
mana pasti tidak akan ada toko buka atau penjual nasi sekalipun. Lalu aku makan
apa? Pop Mie.
Sore tiba Lusi
tidak kunjung datang. Aku tanya dia kapan pulang jawabannya dia mau menginap
karena kakeknya yang menyuruhnya. Aku mengirim emotikon sedih lewat bbm ku
padanya malah dia menanyakan Mawar padaku. Oh, sepertinya dia tidak tahu kalau Mawar
juga pergi menginap di kos temannya yang lain. Ya sudahlah. Aku sendiri di
malam takbir.
Jam maghrib kos
terlihat sepi. Ya memang sepi sedari kemarin. Suara takbir mulai bergema. Aku
masih tetap duduk di depan laptop menonton film sehabis sholat makan dan tidur.
Seketika keluargaku di rumah terbayang. Bagaimana mereka beramai-ramai membuat
kue, makan daging atau sate dengan gembira. Lalu tanpa sadar, air mataku jatuh
seketika.
Jika kau melihat
kondisiku saat itu, aku seperti di sebuah rumah kosong yang hanya ada aku di
dalamnya. Dengan posisi lutut yang ditekuk, lengan yang di lingkarkan padanya
lalu mata yang hanya mematung menatap layar monitor laptop. Tapi untunglah aku
bisa menghibur diri bersama aktor film yang aku tonton. Hebat, bukan? Mungkin
kau tidak akan betah dan berani jika berada dalam kondisi sepertiku. Aku yang
dari kemarinnya tidak pernah meminta teman di kosan, malah aku yang ditinggal
sendirian. Benar-benar seoarang wanita single yang tengah diuji ke-single-annya.
Aku tak ingin
berlama-lama mndramatisir malam takbirku, karena esok harinya ada yang lebih
meringis lagi. Tepat paginya Idul Adha aku mengalami gangguan pencernaan.
Deare. Mencret kalau tidak paham. Teman yang sudah ku janjikan sholat bersama
di masjid kampus sudah berada di TKP terlebih dahulu di saat aku masih berjuang
di kamar mandi. Aku kembali ke kamar dengan wajah sayu seperti telah gagal
dalam meraih mimpi : sholat Ied bersama. Dengan terpaksa aku hanya berbaring di
tempat tidurku, mencet tombol hp dan mengetik sebuah pm bbm: Apalah daya L .
Pagi menjelang
siang, aku lapar. Ku makan pop mie yang ku beli kemarin. Allah. Ini hari daging
sedunia, ku bilang. Tapi masih ada di sini yang bersikeras dengan pop mie-nya.
Masih ada orang-orang terlantar di luar sana yang belum tentu bisa makan daging
sepuasnya. Aku jadi mendadak rindu pada tukang sate di depan kampus. Bukan
tukang satenya, tapi satenya.
Siang menjelang
sore aku lapar lagi. Aku chat Mawar dan Lusi untuk membelikanku makanan apapun
itu baik nasi atau roti. Yang penting ia mengandung karbohidrat. Jika memang di
masa purba, tak apa singkong rebus atau ubi jalar. Namun sampai malam maghrib
tiba, keduanya belum tiba. Aku menahan lapar hingga Isya’. Mawar membelikanku
sari roti. Harapanku buyar sedari tadi membayangkan nasi lalapan. Aku makan roti
itu, ku cabik-cabik ia dengan perasaan senang tak terkira.
Teman-teman
chat-ku banyak mengirim emotikon sedih padaku, sebuah motivasi agar aku
bersabar, jangan sedih, dan bla bla bla. Hingga akhirnya ada yang menyuruhku
untuk mencari makan di depan kampus saja, pasti ada karena sebenarnya banyak
mahasiswa maba yang tidak berpulang ke rumahnya. Aku tersadar. Dari kemarin aku
memang kurang berusaha. Hanya mengurung diri di kamar dan menyatu dengan
kemalasan. Berharap ada orang yang tiba-tiba memberiku makan dan minuman.
Dengan sedikit
perasaan sedih, aku keluar seorang diri. Dan ternyata jalanan begitu ramai.
Warung makan pada buka apalagi banyak pembeli yang antri. Obik …
Kamu masih kurang dewasa ternyata. Kamu terlalu manja untuk seorang
mahasiswa semester akhir. L
Komentar
Posting Komentar