Belum ada
definisi sastra yang memuaskan semua pihak. Sastra tidak bersifat mengajari
seperti materi pelajaran, seperti halnya fiqih dalam ibadah, pkn tentang
kenegaraan, sosiologi dalam bersosial. Namun sebaliknya, semua bidang ilmu itu
bisa masuk dalam ranah sastra. Agama, budaya, politik, sians dan lain
sebagainya.
Fungsi sastra itu
sendiri adalah untuk menghibur dan mendidik. Sebuah karya Cak Nun, Selilit Sang
Kyai yang menceritakan tentang seorang Kyai yang tidak bisa masuk surga karena
mengambil selilit dahan pohon dari orang lain. Kisah ini mengandung pesan moral
dan bisa mengapresiasi seseorang untuk belajar tidak mengambil barang orang
lain tanpa izin.
Seorang Ibu yang jarang
menemani anaknya karena sibuk bekerja, sadar akan kasih sayang yang seharusnya dia torehkan terhadap anaknya
setelah mendengar sebuah kisah satu ini.
Seorang anak
yang meminta uang kepada ayahnya,”Pak, aku minta uang.” Si ayah memberikan si
anak uang sebesar Rp. 100.000. Keesokan harinya, si anak meminta uang lagi
kepada ayahnya. “Pak, aku minta uang lagi.” “Berapa, loh kemarin kan sudah
dikasih. Masa sudah habis” jawab ayahnya. Si anak membalas,”aku minta lagi
200.000.” Si ayah tidak memberinya sehingga si anak menangis. Keesokan harinya
si anak bertanya,”Pak, Bapak kerja satu jam gajinya berapa?” “300.000” jawab si
ayah. “Aku minta uang lagi 100.000, buat jajan”. Si ayah memberi uang 100.000
rupiah kepada anaknya. Setelah si anak mempunyai uang sebesar 300.000 rupiah,
dia menyerahkan uang itu kepada anaknya lalu berkata,”Pak, ini uang 300.000
untuk mengganti satu jam kerja bapak. Aku ingin bapak satu jam di rumah ini
bersama saya.”
Setelah mendengar
cerita tersebut, si Ibu sadar bahwa dia selama ini jarang menemani anaknya. Dia
sadar bukan karena nasehat temannya, bukan karena pinta suaminya, bukan karena
nasehat mertuanya tapi karena cerita itu. Jadi sastra bukan hanya sekedar
hiburan, tapi sebuah proses pendidikan.
Bahkan bisa
dikatakan, bahwa fungsi yang ketiga dari sastra adalah menggerakkan,
menggerakkan seseorang. Sebuah karya sastra yang dianggap melecehkan Islam,
misalnya. Orang-orang akan berbondong-bondong mendemo karya tersebut
habis-habisan. Bahkan mereka yang tidak sempat membacapun, akan ikut mendemo
dan mengkritisi secara blak-blakan. Itu artinya, sebuah karya sastra dapat
memberikan pengaruh terhadap suatu kelompok.
Maka dari itu,
komunitas-komunitas kecil sastra harus dihidupkan untuk memanusiakan manusia,
menghargai kehidupan dengan caranya sendiri. Aksi demo dan anarkis lainnya
kadang kurang efektif dalam hal penyampaian aspirasi. Justru dengan melalui
karya sastra itulah, apresiasi bisa disampaikan. Justru lebih efektif dan tidak
rame-rame.Tak perlu berteriak dan bertindak anarkis. Sekali-sekalilah, demo
dengan membuat puisi sebanyak-banyaknya. Lalu tempelkan karya tersebut di depan
gedung para mentri. Yang bacapun tak terlalu marah. “Oh, baca puisi …” “Oh,
baca cerpen”
Di antara kita
pasti mempunyai aspirasi. Pasti mempunyai ide dan gagasan yang ingin
dilontarkan. Jika ide kita sama, tak masalah karena setiap pemikiran pasti
mempunyai keunikan tersendiri, Satu ide yang sama, bisa dituangkan ke dalam
karya sastra dengan ekspresi yang berbeda. Plato berkata, bahwa logika
mengantarkan kita dari satu titik ke titik yang lain, tapi imajinasi
mengantarkan kita kemanapun. Kemanapun!.
Narasumber: Ustadz Edy Thoyyib dalam dialog Apresiasi Sastra, PP.
Darun Nun, Perum Bukit Cemara Tidar F3/4, Malang. 28 April 2017
Komentar
Posting Komentar