Kali ini aku bukan pamer. Aku ingin menuliskan beberapa hal yang
pernah aku alami sejak kecil dan baru aku pahami setelah aku dewasa.
“Rangking ketiga, diraih oleh anak yang di rumahnya rajin sekali
sholat. Dia adalah Robi’atul Andawiyah.” Begitu Ibu Um, guru TK nol kecilku
memanggil namaku. Suara tepuk tangan dari para orang tua bergemuruh dan aku
hanya tersenyum malu. Aku menaiki panggung, berjejer paling kiri setelah dua
temanku. Aku menerima hadiah dan di atasnya adalah raportku.
Koleksi pribadi |
Dan saat itulah, aku dikenal dengan anak yang pintar. Ya, aku dapat
menulis dan membaca dengan cukup bagus untuk anak seumuranku. Di rumah aku
memang rajin sekali membaca. Tak tahu mengapa, sela-sela waktu kosong hasrat
untuk membaca atau menulis pasti ada. Menggambarpun juga iya. Gambarkupun cukup
bagus. Degradasi warna yang ku buat sering dicontoh oleh teman-teman
sepermainanku. Geli sekali rasanya mengingat hal itu.
Tingkat TK aku meraih rangking ke-tiga. Hingga duduklah aku di
bangku Madrasah Ibtidaiyah (setara dengan SD). Paradigma dulu, yang pintar yang
jadi pengurus kelas. Aku seringkali menjadi bendahara atau sekretaris. Kelas 1,
2 dan tiga, lagi-lagi aku tetap di peringkat ke tiga. Dan ketika aku masih
kelas tiga, untuk sekolah TK Al-qur’annya (TPQ) malam itu aku dianugerahi
sebagai santri Tauladan. Aku berdiri di atas panggung dengan tersenyum karena
teman-teman di depan panggungku malah menggodaku. Sementara santri teladan
yang lain, hanya menunduk dan diam
sopan. Dasar anak kecil, pikirku jika mengingat hal itu.
Para tetangga rumah membicarakanku yang mendapat piala malam itu.
Betapa bangganya orang tua jika anaknya demikian, betapa pintarnya dia sehingga
mendapat piala, aku disoroti banyak orang. Aku bahagia, aku senang. Karena ini
adalah prestasi. Kata anak yang berumur 7 tahun ini.
Dan untuk umur masa-masa belia ini, aku mampu mengahafal nadzaman
beserta maknanya hingga beberapa lembar. Sekolahku kental oleh agama. Belajar
dengan tulisan arab dan menghafalnya adalah sebagai poin tambahan nilai raport.
Aku pernah mengahafal hingga tuntas, aku pernah mengingat semua isi buku hingga
ulanganpun mendapat nilai sempurna. Aku belajar semalaman suntuk hingga kedua
orang tuaku tidak berani menggangguku.
Setelah kejadian ini, teman-temanku berkata. “Otak apa kamu, Bik?”
“Bagi-bagi dong ingatannya” “Aku gak usah belajar ya, kan ada kamu”. Ah,
entahlah ini mungkin hanya sekedar candaan konyol yang aku hanya membalasnya
dengan tertawa.
Setelahnya aku mendapat peringkat pertama. Dan ketika kelas 6, aku
dianugerahi sebagai siswa tauladan. Aku mendapat piala kembali. Memasuki MTs
dan MA, aku belajar seperti biasa. Bahkan aku jarang tidur karena belajarku
adalah di malam hari. Pagi hingga sore aku aktif organisasi sekolah dan baru
pulang ke pondok saat adzan maghrib berkumandang.
Aku mendapat peringkat seperti biasa meski di MA tak lagi pada
posisi yang pertama. Aku tak lagi menjadi siswa tauladan yang biasanya itu
dipanggil dengan kata-kata indah diiringi instrument yang mendebarkan. Ada
kata-kata yang terngiang-ngiang setelah hari itu. “Kenapa gak jadi teladan
lagi?” “Kenapa kok turun?” “Ah, kok turun sih”. Aku menangis. Aku sedih. Dan
lama-lama aku sadar. Aku ini seperti tertekan oleh lingkungan.
Waktu itu mungkin aku masih remaja, pemikiran yang dangkal dan
masih belum memiliki passion utuh serta murni dari naluri sendiri. Aku
mengandalkan kepintaranku atas nama peringkat. Namun bukan itu yang seharusnya
terjadi. Aku tidak suka orang-orang di sekitarku mengumbar-ngumbar tentang apa
yang telah aku raih, peringkat atau teladanlah. Karena aku sendiri paham, bahwa
teman-temanku memiliki banyak passion yang aku belum tentu bisa melakukannya. Peringkat
adalah nomer ke sekian bagiku. Yang pertama bagiku adalah potensi. Apa yang
seharusnya menjadi eksistensiku? Bukan karena keinginan atau perintah orang
lain. Bukan karena keterpaksaan.
Bagi kita yang pintar dalam hal akademik, pertahankan. Tapi jangan
sampai lupakan tentang skill-kita. Kita boleh pandai berbicara angka di dalam
kelas, namun belum tentu kita cepat tangkap ketika orang lain benar-benar
mempertanyakan kemampuan kita. Kembangkan hal-hal yang membuat kita hidup
dengan penuh gairah, jangan hanya setengah-setengah dalam mempelajarinya.
Komentar
Posting Komentar