“To know a feeling, at least we feel. No need to argue or fight
with yourself”
-Kai Bramansa Indi
Bumi
itu bulat. Dan semua planet pun juga bulat. Menurut apa yang gue pelajari di
sekolah, bumi itu merupakan satu-satunya planet yang mempunyai kehidupan. Ada
makhluk hidup di sana. Di mana Adam dan Hawa dulu adalah penghuni pertama,
hingga gue sebagai makhluk hidup yang ke sekian.
Iya.
Gue adalah salah satu manusia. Manusia yang sedang hidup.
“Berhenti
jadi anak nakal, Kai” – Ayah.
“Kamu
gak sekolah lagi, Nak Kai? Ya Tuhan… Mau jadi apa kamu nanti?” – Ibu-ibu
tetangga.
“Jadi
orang tuh jangan nakal-nakal. Dijauhi orang-orang baik” – Ibu.
Dan
itu cara hidup gue. Na-kal. Kata orang-orang yang menurut mereka- mereka baik.
Di saat gue keluyuran di tengah
malam, suka bolos sekolah mulai sejak TK hingga SMA, bahkan guru gue-pun pernah
nyari gue ke rumah karena gue yang tiba-tiba ngilang saat jam sekolah, dan saat
gue belum tau membaca dengan lancar yang seharusnya waktunya gue sudah membaca
dengan lancar, jadi selain nakal, gue juga – bodoh. Kata mereka.
Dan
meskipun gue nakal atau bodoh, gak tau kenapa, gue sekarang bisa ada di sini.
Berdasarkan hasil seleksi calon mahasiswa 2018, gue lulus sebagai salah satu
mahasiswa di Institut Teknologi Brandon, Indonesia. Mungkin karena gue belajar
habis-habis-an karena ini kemauan ayah ibu gue. Bukan gue. Gue belajar karena
terpaksa. Untuk bisa masuk di kampus yang katanya berkualitas dengan otak para
penghuninya ini, untuk bisa mengabulkan permintaan kedua orang tua gue meski
ini jauh dari kemauan gue. Lo tau rasanya terpaksa? Gak enak. Enek. Tapi gue
diam.
“Namanya
Kai?” tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan seragam panitia orientasi
kampus.
“Iya,
Kak.”
“Jurusan
apa?.”
“Teknik
Fisika”
Dahi
laki-laki itu tiba-tiba merengut. “Teknik?.”
“Iya.”
“Kalau
telatnya 5 menit, sih masih mending. Ini satu jam. Satu materi lo ketinggalan.”
Ya,
terus?.
Gue
cuma diam.
“Kenapa
telat?”
“Baru
bangun tidur.”
Sebelah
sisi bibirnya terangkat. Tersenyum jahil. “Udah tau kan hari ini mulai orientasi?”
“Iya”
“Ya
udah, masuk.”
Dan
setelahnya gue mendapatkan tugas membuat essay dengan dua judul: Aku sebagai
Generasi Bangsa dan Aku sebagai Mahasiswa, satu makalah dengan judul
Implementasi Fisika dalam Memajukan Indonesia dan meminta tanda tangan
ke 10 pengurus BEM Fakultas.
Beberapa menit gue menjalani yang
namanya orientasi, yang namanya peninjauan untuk mengenal lebih dalam tentang
kampus, di saat mahasiswa yang lain akan bersikap se-exicited itu, di
saat mereka berharap akan menjauhi yang namanya hukuman dan pelanggaran, gue
melanggar terlebih dahulu.
Gue kumpulin essay dan makalah
itu, yang gue buat berdasarkan penjiplakan gue di internet. As simple as
that for doing it.
Ketika mereka bilang gue nakal,
gue gak merasa nakal. Karena gue merasa, gue gak mengganggu kehidupan orang
lain. Gue gak menuntut orang lain buat mengurusi hidup gue. Gue keluyuran tiap
malam, karena gue suka malam. Gue suka langit gelap, temaram lampu, dan keadaan
di saat itu. Gue sering bolos di kelas, karena gue bosen. Bosen untuk selalu
mendengarkan petuah-petuah guru, di saat gue cuma ingin berbicara dengan alam.
Gue sulit buat bisa baca dengan lancar, karena gue lebih suka mendengar.
Mendengar apa yang ingin gue dengar.
“Wuiiih, jadi lo pernah nyoba
nge-cas Nokia 3310 pake tegangan 1 juta volt?” tanya seorang cewek yang kali
ini sedang duduk di sebelah gue di gazebo samping fakultas dengan sepatu boot
dongkernya yang katanya itu adalah sepatu favorit-nya.
“Iya, pernah”
“Wuiiih, kereeen. Trus trus gimana
hasilnya?”
“Ya… bisa”
“Gak meledak?”
Gue seketika menahan tawa setelah
dia berkata begitu. “Emang bom?”
“Ya gak gitu. Kan tegangannya
tinggi, Kai”
“Mungkin material batrenya dibikin
lebih kuat buat nerima tegangan yang tinggi. Gue belum paham sih komponen-nya
apa. Cuma coba-coba doang.”
“Lo ada video-nya?”
“Ada”
“Boleh
liat?”
Setelah
gue menyerahkan hape gue ke dia, lalu dia melihat video yang dia maksud,
tiba-tiba matanya membulat.
“Wwwuaaah.
Hebaaaat. Kai hebat”
Kai?
Hebat?.
Namanya
Luna.
Bukan
Lucinta Luna loh ya. Tapi Aluna Vatiantika.
Cewek dengan penampilan sederhana.
Yang sehari-harinya kadang memakai kaos, kemeja atau baju kasual, celana jeans
hitam atau dongker di atas mata kaki dan sepatu boot berwarna biru dongker yang
dia jarang pakai kaos kaki. Katanya kaos kaki bikin kakinya panas. Cewek yang
entah bagaimana alurnya bisa sering ngobrol sama gue semenjak satu semester
pertama. Kita satu jurusan. Satu kelas. Di saat kita sama-sama berjalan cepat
mencari koperasi tempat fotokopi untuk menggandakan beberapa berkas pendaftaran
orientasi jurusan, kita sama-sama berjalan cepat untuk mencetak foto gokil yang
disuruh panitia sebagai tanda pengenal, dan ketika dia mencoba membawakan tas
gue di saat gue sibuk merekatkan foto itu di lembar pendaftaran.
“Ih, foto lo mana gokil. Itu mah
foto KTP” ucapnya ketika memperhatikan foto gue yang terlampau berekspresi datar,
jauh dari kata gokil.
Mungkin
saat itu. Kita terlihat akrab. Dari pertama- kita kenal. Dan kenapa kita
berjalan cepat? Karena kita terlambat. Gue terlambat karena bangun kesiangan
dan memang tidak menyiapkannya dari awal, sedangkan dia terlambat karena baru
tiba dari Singosari, mengambil jas almamater-nya di rumah, yang dia lupa bawa
balik ke kosan.
Gue
gak tau definisi hebat itu apa. Gue cuma bisa menggambarkan. Bahwa hebat itu
yang kata mereka melakukan suatu hal yang kebanyakan orang lain tidak bisa
melakukan. Atau kalau gue lebih persempit lagi, hebat itu relatif. Ketika
tampan dan cantik itu mereka bilang relatif, maka untuk hebat pun, gue bilang
ia relatif. Karena menurut satu orang hal itu hebat, belum tentu di mata orang
lain juga hebat.
Dan
kata Luna, waktu dia melihat video gue ketika mencoba Nokia 3310 di-cas pada
tegangan 1 juta volt, gue itu hebat.
“Kai
hebat”
Ada
orang yang bilang gue hebat, untuk pertama kali.
“Lo
harus cari tahu komponennya, ya. Gue tunggu” itu yang dia diucapkan setelah
kita hendak berpisah untuk pulang sehabis kuliah. Tanpa gue membalas ucapannya
dengan ‘iya’, gue hanya memandangi tubuhnya yang sudah mulai menjauh.
Dari
mulai sejak itu hingga gue sekarang di kamar, gue masih berpikir. Untuk apa gue
sibuk mencari tau komponen batre itu. Gue gak ada kebutuhan. Gue gak ada
keinginan. Tapi dia bilang ‘harus’. Harus itu tidak boleh tidak. Dan ketika
seseorang itu bilang harus, itu berarti dia juga berharap.
“Gue
tunggu”
Dia
juga mau menunggu. Tapi untuk apa? Gue belum tau. Yang gue tau, untuk seseorang
yang menunggu kita harus segera datang. Datang sebagaimana dia harapkan. Karena
menunggu itu juga harapan. Dan karena itu, gue melakukannya sekarang. Mencari
komponen itu. Dan untuk pertama kalinya, gue melalukan suatu hal karena
seseorang yang menunggu. Dan gue mau. Bukan karena terpaksa.
Kenapa
gue mau? gue juga belum tau.
Mungkin
di luar sana banyak orang yang senang mencari teman. Mereka akan kesepian saat
mereka tak ada satu orang pun yang dikenal. We don’t live alone, other
people need us and we need them. Begitu kalimat yang sering gue temukan
ketika ada pembahasan tentang ilmu sosial. Tapi gue merasa biasa. Dengan atau
tanpa siapa pun, gue ya gue. Gue tidak sebegitu senangnya saat ada teman yang
begitu loyal, gue juga tidak sebegitu sedihnya saat gak ada teman.
“Sama
gue”
“Gak,
Lun. Males”
“Ya
udah, bantuin gue”
Kala
itu perdebatan gue dengan Luna saat gue menyerahkan file hasil pencarian gue
tentang apa yang dia harapkan. Dia mau gue ikut kompetesi karya ilmiah karena
menurutnya eksperimen gue tentang sebuah batre itu layak untuk dikompetisikan.
“Maksudnya?”
“Bantuin
gue bikin karya tulis”
“Gue
gak bisa, Lun”
“Bisa”
“Gue
gak pernah buat gituan”
“Yaudah,
temenin gue”
Pasti
dia begitu. Saat gue gak mau untuk melakukan suatu hal, dia menggantinya dengan
ajakan untuk ‘temenin’ dia. Dia mau gue temenin. Dan semenjak gue merelakan
diri untuk mengekori dia ke perpustakaan, menemani dia untuk sekedar mengedit
tulisan, memperhatikan dia yang dengan fokusnya membaca ulang tulisan, di
gazebo samping fakultas dia berkata di malam itu;
“Lo
tuh cerdas, Kai. Lo cuma males. Lo lebih suka menyendiri di saat ada banyak hal
yang bisa lo lakuin bareng orang lain. Lo mampu buat melakukan hal-hal hebat,
tapi lo gak mau. Dan sebagai temen lo, gue mau bantuin lo. Biar lo mau.”
Untuk
sepersekian detik, gue diam. Lalu satu menit, dua menit, tiga menit gue pun
tetap diam. Dia berkata dengan mata fokus ke layar laptop bukan ke gue. Dan
setelah gue menatap jari-jarinya yang menari-nari di atas keyboard, gue beralih
menatap wajahnya, meskipun dari samping. Gue mendadak bisu.
Mungkin
dia sadar kalau gue memperhatikan dirinya kali ini. “Jangan sering menyendiri.
Lo masih belum tau rasanya membutuhkan. Dan mungkin itu suatu saat. Suatu saat
ketika lo bener-bener tau rasanya membutuhkan. Ketidak-mauan seseorang
melakukan suatu hal itu karena dua kemungkinan. Dia gak mau atau dia gak mampu.
Ketika dia gak mau, orang-orang lebih sering menganggapnya gak mau, kecuali dia
yang bilang sendiri, kalau dia gak mau. Dan untuk lo, lo cuma gak mau. Lo dulu
pernah cerita, kalau lo sering dianggap nakal, bodoh. Itu karena lo gak buktiin
ke mereka, ya meskipun lo sebenarnya biasa-biasa aja sih. Tapi banyak orang di
luar sana, yang ketika dia dikatakan bodoh, mereka akan terus berusaha. Karena
mereka gak mau dikatakan bodoh. Itu mereka yang percaya diri. Gue mau, lo
percaya diri. Setidaknya lo buat cerita di kehidupan lo, yang indah, untuk
sekarang dan nanti.”
Lalu
dia menoleh ke gue, tersenyum. Dan gue masih bisu.
Gue masih bisu.
“Udah,
nih. Simpan file-nya. Besok kita print.”
Di
antara manusia-manusia yang lain, kenapa dia betah untuk ngobrol bareng gue.
Kenapa dia lancang untuk ngajak gue temenin dia membuat karya tulis, kenapa dia
berani untuk ngomong dengan panjang lebar tentang kesendirian, teman dan
percaya diri. Dan kenapa gue masih bisu. Gue gak tau harus meresponnya dengan
apa.
Saat
dia memilih untuk memejamkan matanya sejenak, menyandarkan kepalanya di balik
pilar kayu gazebo, saat gue hanya mampu mengiang-ngiangkan kata-katanya sedari
tadi, hujan pun turun.
Kenapa
harus ada manusia se-antusias dia yang betah dengan manusia yang jarang
memberikan perhatian terhadap sesama manusia yang lain, kayak gue. Di saat gue
gak mempunyai mimpi untuk hidup di masa depan yang indah atau apapun itu,
kenapa dia datang untuk memberitahu gue akan hal itu. Kenapa dia mau? Gua juga
gak tau.
“Setidaknya
lo buat cerita di kehidupan lo, yang indah, untuk sekarang dan nanti.”
Tiba-tiba gue reflek mendekatkan
tangan gue ke sepatu boot-nya di atas lantai. Ketika sepatu boot-nya mulai
setengah basah dan gue mencoba meminggirkannya agar tidak basah keseluruhan. Saat
dia gak suka memakai kaos kaki karena membuat kakinya panas, gue yakin, dia
juga gak mau sepatunya basah karena itu membuat kakinya kedinginginan.
Lama
gue fokus pada wajahnya yang sedari tadi terpejam. Ada rasa hangat yang
menjalar di tubuh gue. Hanya sebentar. Rasa hangat itu tiba-tiba berubah
menjadi sensasi lain, dimana gue merasa lebih tenang. Tenang yang benar-benar
tenang. Di saat gue gak sebegitu senangnya bersama teman, kali ini gue Cuma tenang.
Tenang.
Dan
untuk nanti atau sebentar lagi, senang itu mungkin akan lama-lama hadir. Hadir di
balik ketenangan.
Luna.
Untuk
pertama kalinya, gue memindahkan sepasang sepatu orang lain dari hujan. Dan itu,
sepatu lo. Dimana gue lupa, bahwa di sebelahnya ada sepasang sepatu gue yang sudah
terlanjur basah karena hujan. Apa ini tanda kalau gue sudah mulai gak
menyendiri? Kapan kira-kira gue menjadi orang yang membutuhkan? Atau dibutuhkan?.
Komentar
Posting Komentar