Aku lupa waktunya kapan.
Saat itu aku dalam perjalanan dari Sumenep menuju Malang. Sebuah tempat yang cukup lama aku tempati untuk kuliah dan bermain. Tidak terasa sudah sekitar 6 tahun juga aku merantau dan sekitar 4 kali lebaran Idul Adha aku tidak berkumpul bersama orang tua dan keluarga besar.
Bis kelas ekonomi tujuan Surabaya-Malang aku tumpangi. Itu pertama kalinya aku pergi seorang diri dengan menaiki bis karena biasanya aku sering naik travel. Bukan karena kebanyakan duit. Sekali pulang biasanya barang bawaanku terlampu banyak hingga aku tidak merasa kuat untuk membawa beban seberat itu dan aku juga sering mabuk darat hingga sampai saat ini pun aku belum bisa terlepas dari yang namanya Antimo. Di balik kondisiku yang sangat sensitif tersebut, kadang ada pertanyaan nakal dan nggak penting yang pernah terbersit dalam benakku. "Gue kalau sering pusing dan mabokan di jalan terus, dan gue dapat suami yang punya kerjaan kemana-mana, gimana gue nanti ya? Atau gue sendiri gitu yang mungkin bakal dapat kerjaan tugas ke mana-mana trus gimana kalau cuma bisa bergantung sama obat pereda pusing dan mabuk perjalanan?" Hah... pikirannya udah sok sok-an.
Kembali ke tema.
Di bis dan kendaraan beroda empat yang lain, (Eh, bis rodanya berapa yak?), aku lebih suka diam, tidur, diam, tidur, diam, tidur lagi. Berbeda sekali dengan sifatku yang biasanya cerewet dan ketawa mulu. Tapi kadang emang 'sok jaim' gitu si. Aku jarang untuk ngobrol atau bersenda gurau karena itu membuatku tidak nyaman. Aku lebih suka melihat keluar jendela atau main gadget.
Saat itu kebetulan aku duduk dekat jendela. Di sebelahku adalah seoarang cowok dan sebelahnya lagi cewek yang mungkin kita semua masih seumuran. Terlihat muda. Sepanjang perjalan, aku mulai menebak bahwa cowok di sampingku ini benar-benar aktif dalam menyapa orang-orang yang baru ia kenal. Terbukti dengan ia mengajak cewek di sebelahnya bicara tanpa henti. Mulai dari berkenalan, cerita kehidupan kampus, dan tempat tinggal. Oh, si cewek satu kampus sama aku ternyata.
Dan di sini aku berharap, aku nggak diajak ngobrol sepanjang itu makanya aku lebih sering mengalihkan pandangan ke luar jendela. If it happened, it will make me soooo bored.
Sampai akhirnya si cowok ini mengajak ngobrol aku juga. Masih kuliah atau kerja, semester berapa, kuliah di mana, kos di mana, dan ketika mnegetahui aku bahwa sedang masa dalam melanjutkan studi di jenjang pascasarjana, aku menangkap sebuah aura yang biasa aku tangkap dari orang-orang di sekitarku yang mereka sedang tidak melanjutkan studi sama sepertiku.
"Wahh... hebat mbak. S2 ya" ekspresinya merasa exited sekali tapi setelah itu seperti berpikir keras lalu bertanya.
"Emang mbak kenapa pengen S2?"
Jujur. Aku tidak terlalu terbuka kepada orang baru dan tertentu jika dihadapkan pada pertanyaan itu. Bukan karena aku tidak mempunyai jawaban, dan bukan seperti di film-film yang di mana sang tokoh dengan percaya dirinya menceritakan alasannya melakukan sesuatu tanpa merasa ada yang disembunyikan.
I feel that's the personal question yang biar aku ceritakan kepada orang-orang yang menurutku boleh tau dan akan mendukungku. Karena setelahnya aku jawab, cowok ini meneruskan pernyataannya.
"Mindset-nya orang-orang itu sekarang gini, mbak. Belajar itu cuma bisa di kampus. Padahal kan nggak. Kita bisa belajar di mana saja. Lingkungan di sekitar kita, kehidupan kita. Dan sebenarnya itu yang lebih nyata untuk membuat kita lebih maju"
Dan aku merasa, setiap kali aku menemui mereka yang menempuh jalannya berbeda dengan ku kenapa selalu terkesan menganggap bahwa we here, in campus again just to catch the career and degree. Mending cari duit atau kerja.
Jadi ya... setiap kali aku ditanya begitu, I just, "Seneng aja di kampus" atau " Seneng belajar" atau bahkan dari jawaban yang paling terniat sekali "Karena aku seneng ini ini ini... dan kalau aku nggak lanjutin ini... ilmunya nggak bakal aku bisa gampang dapetin. Ya emang sih, pengalaman di luar sana akan lebih banyak menambah ini ini... karena di kampus dan jadi mahasiswa kita bakal dilibatkan dalam hal ini ini ini... bla bla bla ..." meskipun pada awalnya dan lama-kelamaan dengan aku menyadari bahwa aku sudah lama hidup di Malang dan berada di kampus bertahun-tahun pemikiranku terlihat seperti mengalami pergeseran.
Dari yang awalnya kaku, jadi lebih fleksibel. Dari yang awalnya skeptis, jadi lebih banyak belajar percaya diri. Dari yang awalnya memandang sesuatu hanya dari satu sisi, jadi lebih terbuka.
Aku tau, ada banyak hal yang belum pernah aku coba selama aku berada di tanah perantauan. Aku mungkin belum berani mengambil resiko yang besar terhadap suatu keadaan, tidak semua hal-hal yang baru sudah aku coba, aku juga bukan orang yang pandai mencari muka hingga semua orang akan mengenalku layaknya orang hits di mana-mana.
I just do my best. Meskipun itu hanya hal-hal sederhana. Tapi yang penting, aku mencoba untuk selalu tidak merasa menyesal. Tidak menyesal telah mengambil keputusan sedemikian rupa. Tidak menyesal telah melakukan suatu hal meski pada akhirnya katanya masih begini-begini aja. Tidak menyesal karena masih belum mencoba sesuatu hal yang lebih keren menurut orang-orang di luar sana sehingga pencapaiannya dianggap masih belum ada apa-apanya. Tidak menyesal tentang hal apapun itu. Tidak menyesal karena aku juga telah melakukan sesuatu yang mungkin orang lain masih belum melakukan itu.
*Ini cuma sekedar cerita dan percakapan selama di perjalanan. Mungkin menurut mereka yang hanya menganggap sebuah perjalan hanya sekedar sebuah perjalanan akan menganggap tulisan ini terkesan lebay.
** Tapi kalau aku emang lebay, sih. Heuheu.
Saat itu aku dalam perjalanan dari Sumenep menuju Malang. Sebuah tempat yang cukup lama aku tempati untuk kuliah dan bermain. Tidak terasa sudah sekitar 6 tahun juga aku merantau dan sekitar 4 kali lebaran Idul Adha aku tidak berkumpul bersama orang tua dan keluarga besar.
Bis kelas ekonomi tujuan Surabaya-Malang aku tumpangi. Itu pertama kalinya aku pergi seorang diri dengan menaiki bis karena biasanya aku sering naik travel. Bukan karena kebanyakan duit. Sekali pulang biasanya barang bawaanku terlampu banyak hingga aku tidak merasa kuat untuk membawa beban seberat itu dan aku juga sering mabuk darat hingga sampai saat ini pun aku belum bisa terlepas dari yang namanya Antimo. Di balik kondisiku yang sangat sensitif tersebut, kadang ada pertanyaan nakal dan nggak penting yang pernah terbersit dalam benakku. "Gue kalau sering pusing dan mabokan di jalan terus, dan gue dapat suami yang punya kerjaan kemana-mana, gimana gue nanti ya? Atau gue sendiri gitu yang mungkin bakal dapat kerjaan tugas ke mana-mana trus gimana kalau cuma bisa bergantung sama obat pereda pusing dan mabuk perjalanan?" Hah... pikirannya udah sok sok-an.
Kembali ke tema.
Di bis dan kendaraan beroda empat yang lain, (Eh, bis rodanya berapa yak?), aku lebih suka diam, tidur, diam, tidur, diam, tidur lagi. Berbeda sekali dengan sifatku yang biasanya cerewet dan ketawa mulu. Tapi kadang emang 'sok jaim' gitu si. Aku jarang untuk ngobrol atau bersenda gurau karena itu membuatku tidak nyaman. Aku lebih suka melihat keluar jendela atau main gadget.
Saat itu kebetulan aku duduk dekat jendela. Di sebelahku adalah seoarang cowok dan sebelahnya lagi cewek yang mungkin kita semua masih seumuran. Terlihat muda. Sepanjang perjalan, aku mulai menebak bahwa cowok di sampingku ini benar-benar aktif dalam menyapa orang-orang yang baru ia kenal. Terbukti dengan ia mengajak cewek di sebelahnya bicara tanpa henti. Mulai dari berkenalan, cerita kehidupan kampus, dan tempat tinggal. Oh, si cewek satu kampus sama aku ternyata.
Dan di sini aku berharap, aku nggak diajak ngobrol sepanjang itu makanya aku lebih sering mengalihkan pandangan ke luar jendela. If it happened, it will make me soooo bored.
Sampai akhirnya si cowok ini mengajak ngobrol aku juga. Masih kuliah atau kerja, semester berapa, kuliah di mana, kos di mana, dan ketika mnegetahui aku bahwa sedang masa dalam melanjutkan studi di jenjang pascasarjana, aku menangkap sebuah aura yang biasa aku tangkap dari orang-orang di sekitarku yang mereka sedang tidak melanjutkan studi sama sepertiku.
"Wahh... hebat mbak. S2 ya" ekspresinya merasa exited sekali tapi setelah itu seperti berpikir keras lalu bertanya.
"Emang mbak kenapa pengen S2?"
Jujur. Aku tidak terlalu terbuka kepada orang baru dan tertentu jika dihadapkan pada pertanyaan itu. Bukan karena aku tidak mempunyai jawaban, dan bukan seperti di film-film yang di mana sang tokoh dengan percaya dirinya menceritakan alasannya melakukan sesuatu tanpa merasa ada yang disembunyikan.
I feel that's the personal question yang biar aku ceritakan kepada orang-orang yang menurutku boleh tau dan akan mendukungku. Karena setelahnya aku jawab, cowok ini meneruskan pernyataannya.
"Mindset-nya orang-orang itu sekarang gini, mbak. Belajar itu cuma bisa di kampus. Padahal kan nggak. Kita bisa belajar di mana saja. Lingkungan di sekitar kita, kehidupan kita. Dan sebenarnya itu yang lebih nyata untuk membuat kita lebih maju"
Dan aku merasa, setiap kali aku menemui mereka yang menempuh jalannya berbeda dengan ku kenapa selalu terkesan menganggap bahwa we here, in campus again just to catch the career and degree. Mending cari duit atau kerja.
Jadi ya... setiap kali aku ditanya begitu, I just, "Seneng aja di kampus" atau " Seneng belajar" atau bahkan dari jawaban yang paling terniat sekali "Karena aku seneng ini ini ini... dan kalau aku nggak lanjutin ini... ilmunya nggak bakal aku bisa gampang dapetin. Ya emang sih, pengalaman di luar sana akan lebih banyak menambah ini ini... karena di kampus dan jadi mahasiswa kita bakal dilibatkan dalam hal ini ini ini... bla bla bla ..." meskipun pada awalnya dan lama-kelamaan dengan aku menyadari bahwa aku sudah lama hidup di Malang dan berada di kampus bertahun-tahun pemikiranku terlihat seperti mengalami pergeseran.
Dari yang awalnya kaku, jadi lebih fleksibel. Dari yang awalnya skeptis, jadi lebih banyak belajar percaya diri. Dari yang awalnya memandang sesuatu hanya dari satu sisi, jadi lebih terbuka.
Aku tau, ada banyak hal yang belum pernah aku coba selama aku berada di tanah perantauan. Aku mungkin belum berani mengambil resiko yang besar terhadap suatu keadaan, tidak semua hal-hal yang baru sudah aku coba, aku juga bukan orang yang pandai mencari muka hingga semua orang akan mengenalku layaknya orang hits di mana-mana.
I just do my best. Meskipun itu hanya hal-hal sederhana. Tapi yang penting, aku mencoba untuk selalu tidak merasa menyesal. Tidak menyesal telah mengambil keputusan sedemikian rupa. Tidak menyesal telah melakukan suatu hal meski pada akhirnya katanya masih begini-begini aja. Tidak menyesal karena masih belum mencoba sesuatu hal yang lebih keren menurut orang-orang di luar sana sehingga pencapaiannya dianggap masih belum ada apa-apanya. Tidak menyesal tentang hal apapun itu. Tidak menyesal karena aku juga telah melakukan sesuatu yang mungkin orang lain masih belum melakukan itu.
*Ini cuma sekedar cerita dan percakapan selama di perjalanan. Mungkin menurut mereka yang hanya menganggap sebuah perjalan hanya sekedar sebuah perjalanan akan menganggap tulisan ini terkesan lebay.
** Tapi kalau aku emang lebay, sih. Heuheu.
Keinginan ùntuk nulis lagi di blog dari 2 bulan lalu baru terpublish. Ckckckck. Nice curhat!
BalasHapus